25 Juni 2021 ============ Innalillahi wainnailaihi rojiun, telah meninggal dunia sahabat kita bang Satiri barusan jam 19.00. Semoga diampuni semua khilaf dan salahnya, diterima iman-islamnya, dan mendpt tempat terbaik disisiNya. Aamiin Allahuma Aamiin 🤲🤲🤲 (Dr. Ir. Satiri M. Zen, MBA) SATIRI SAHABATKU PAHLAWAN BETAWI (1) URL: https://www.facebook.com/reno.alamsyah.94/posts/10226505323805448 SATIRI SAHABATKU PAHLAWAN BETAWI (2) URL: https://www.facebook.com/reno.alamsyah.94/posts/10226511661043875 SATIRI SAHABATKU PAHLAWAN BETAWI (3) URL: https://www.facebook.com/reno.alamsyah.94/posts/10226517785116973 SATIRI SAHABATKU PAHLAWAN BETAWI (4) URL: https://www.facebook.com/reno.alamsyah.94/posts/10226523934350700 SATIRI SAHABATKU PAHLAWAN BETAWI (5) URL: https://www.facebook.com/reno.alamsyah.94/posts/10226530419032813 SATIRI SAHABATKU PAHLAWAN BETAWI (6) URL: https://www.facebook.com/reno.alamsyah.94/posts/10226536376181738 SATIRI SAHABATKU PAHLAWAN BETAWI (7) URL: https://www.facebook.com/reno.alamsyah.94/posts/10226542444573444 SATIRI SAHABATKU PAHLAWAN BETAWI (8) URL: https://www.facebook.com/reno.alamsyah.94/posts/10226548650768595 SATIRI SAHABATKU PAHLAWAN BETAWI (9 & 10) URL: https://www.facebook.com/reno.alamsyah.94/posts/10226555102769891 SATIRI SAHABATKU PAHLAWAN BETAWI (11) URL: https://www.facebook.com/reno.alamsyah.94/posts/10226567777246745 SATIRI SAHABATKU PAHLAWAN BETAWI (12) URL: https://www.facebook.com/reno.alamsyah.94/posts/10226581568111508 SATIRI SAHABATKU PAHLAWAN BETAWI (13) URL: https://www.facebook.com/reno.alamsyah.94/posts/10226594469034023 SATIRI SAHABATKU PAHLAWAN BETAWI (14) URL: https://www.facebook.com/reno.alamsyah.94/posts/10226600785191923 SATIRI SAHABATKU PAHLAWAN BETAWI (15) URL: https://www.facebook.com/reno.alamsyah.94/posts/10226615176551698 URL: https://rms46.vlsm.org/3/0209.txt URL: https://rms46.vlsm.org/4/0016.jpg URL: https://rms46.vlsm.org/4/0017.jpg URL: https://rms46.vlsm.org/4/0018.jpg URL: https://rms46.vlsm.org/4/0019.jpg URL: https://rms46.vlsm.org/4/0020.jpg URL: https://rms46.vlsm.org/4/0021.jpg URL: https://rms46.vlsm.org/4/0022.jpg URL: https://rms46.vlsm.org/4/0023.jpg URL: https://rms46.vlsm.org/4/0024.jpg URL: https://rms46.vlsm.org/4/0025.jpg URL: https://rms46.vlsm.org/4/0026.jpg URL: https://rms46.vlsm.org/4/0027.jpg URL: https://rms46.vlsm.org/4/0028.jpg URL: https://rms46.vlsm.org/4/0029.jpg SATIRI SAHABATKU PAHLAWAN BETAWI (1) Kemarin dia kembali kepadaNya. Wabah buruk ini telah merengut jiwanya tanpa ampun. Seperti ditampar bolak-balik dalam mimpi buruk, kami amat sangat berduka. Bagiku, beliau adalah sahabat kehidupan. Friend for life. Dia adalah sosok yang seharusnya diberi gelar Pahlawan Betawi. Kisah hidupnya tidak kalah lebih sulitnya dari yang dialami Si Doel Anak Betawi, dan keberhasilan serta pengabdiannya jauh melampaui Si Doel Anak Modern. Kami sama-sama masuk jurusan Fisika ITB, walupun pada tahun pertama kami tidak pada kelas yang sama, saya di T-03 dia di T-01. Jadi, tahun 1981 kami memulai perjalanan bersama menjadi sarjana fisika. Dia mudah bergaul dengans semua orang, jenaka dan kadang cenderung jahil, walaupun tidak ada yang pernah sakit hati atas kejahilannya itu. Dan kami segera menjadi serumah, se-kontrakan, selama lebih dari tiga tahun. Kami sering saling bercerita dan saling mengunjungi keluarga masing-masing. Cerita ini saya coba susun sedapat mungkin sesuai dengan yang pernah diceritakannya kepada saya dan juga dari yang kami alami bersama. Bagaimanapun juga ini adalah cerita. Dan inilah ceritanya. Perjalanan fisika buat saya sangat berat, tetapi bagi Satiri ini hanya candaan semata. Ya, kita semua teman-temannya sadar belaka bahwa kecerdasannya melampaui semua teman sekelas. Ini agak berbeda dengan sobat kami BDU, yang lulus cum laude dengan nilai yang nyaris semuanya A. Satiri tidak cum laude, walau nilainya juga banyak A. BDU berasal dari keluarga yang sangat mampu. Kami menyebutnya mahasiswa tiga jurusan: Kamar kosnya yang mirip perpustakaan, ruang kelas, dan perpustakaan kampus. BDU orang yang baik hati, dan mau membantu teman-temannya. ‘Kelas’ (mutu) BDU jelas berbeda dengan ‘kelas’ saya, walaupun kami sekelas. Ketika kami memasuki kuliah di tahun ketiga, BDU sudah menjadi asisten dosen buat kami; dan dia bisa lulus dari ITB hanya dalam empat tahun, delapan semester, di tahun 1984. Padahal, saat itu program Sarjana ITB adalah 4,5 tahun dengan tiga tahun pertama adalah tingkat Sarjana Muda. Meskipun demikian, menurutku kecerdasan Satiri jauh melampaui BDU. Kedua orang tua Satiri hanya sempat mengecap sedikit tahun di Sekolah Rakyat. Seingatku mereka tidak lancar membaca huruf latin, meskipun mereka sangat fasih membaca Al-Quran. Ayahnya pedagang kembang keliling, yang kadang mangkal di emperan Jalan Melawai, Blok M. Ibunya, seperti kebanyakan ibu-ibu di masa itu, berfokus untuk mengurus semua urusan rumah tangga. Tahun 1982 saya mengunjungi rumah orang tua Satiri di sekitar Jalan Rawa Belong, Palmerah, Jakarta. Ya, dia orang Betawi asli yang lahir dan besar di kampung itu. Betawi adalah istilah untuk orang asli Jakarta. Betawi adalah pelafalan lokal dari “Batavia”, nama yang diberikan Kolonial buat ibu kota Hindia Belanda (Indonesia). Orang tua saya tinggal di bilangan Kampung Rawa, Simprug. Kami hanya terpisah beberapa kilometer saja. Rumahnya dapat dikatakan sangat sederhana, beralaskan tanah yang dikeraskan dan dengan dinding gedek (anyaman) bambu tipis diolesi kapur tebal. Di sanalah saya menemukan ibundanya dengan sinar mata yang terang dan suara yang lembut. Saya segera memahami bahwa inilah ibunda segala kebijasanaan dan kecerdasan! (Ibunda saya, nantilah saya ceritakan lain waktu) Saat itu Satiri sudah punya istri dan satu orang anak! Ya, dia menikah, melalui drama yang tak kurang seru dari Drama Korea, waktu kami memasuki semester ke-2 di ITB. Nanti akan saya ceritakan juga drama tersebut jika memang memungkinkan. Sekarang, saya mau cerita dahulu bagaimana Satiri kecil berjalan tanpa alas kaki di semak belukar penuh bahaya, tanpa peta, untuk akhirnya tiba di kampus Ganesha. (BERSAMBUNG). Al Fatihah kami buat Bang Tiri, panggilang akbrabnya. SATIRI SAHABATKU PAHLAWAN BETAWI (2) . . Kalaupun Satiri kecil tersaruk-saruk, beranjak remaja dengan segudang tantangan, dan kemudian ‘terdampar’ di kampus Ganesha, dia tidak pernah berhenti bersenang-senang bersama-teman-teman. Dia bukan tipe serius penyendiri. Dan kampus ITB itu pun ternyata baginya hanya sebatas persinggahan. Perjalanannya masih jauh ke dapan. Tahun 1967, di jaman yang sulit itu, saya masuk Sekolah Dasar (SD). Satiri setahun lebih tua dari saya. Sebagai ‘orang pendatang’, saya tahu bahwa saat itu masyarakat Betawi di tempat kami banyak yang tidak bersekolah. Kalaupun ada yang bersekolah, nyaris tidak ada yang kuliah. Bagaimana dengan Satiri? Ya sama saja dengan yang lainnya, main di tegalan sawah, berceloteh di ladang, bergembira sepanjang hari. Hingga suatu hari, Tuhan menurunkan guru pertama baginya. Katakanlah namanya Saifullah. (Tentu saja saya tidak tahu nama sebenarnya). Bang Ipul, katakanlah begitu panggilan akrabnya karena dia juga orang Betawi asli, adalah lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG), setingkat SMA. Pada saat itu, lulusan SPG sudah merupakan suatu previlese. Pagi Bang Ipul mengajar di SD Palmerah. Siang yang berkepanjangan di rumahnya, ia tidak mungkin untuk menjadi suntuk dengan ramainya canda ria, banyolan-banyolan anak-anak yang saling ejek khas betawi. Anak-anak itu tidak ada yang bersekolah. Karena iseng, Bang Ipul seraya meneriaki mereka: “Eh Tong, elu pade mao maen sekola-sekolaan kagak?” (Hi kids, do you all wanna play like in school?) “Maooo…”, seru anak-anak serempak bergembira. Begitulah, meja ping-pong dijadikan papan tulis, dengan bangku kayu pendek (jengkok, dingklik atau jojodog) sebagai kursi yang nyaman bagi enam anak-anak merdeka. Kapur tulis adalah senjata utamanya. Belakangan Bang Ipul membuatkan papan-papan kecil sebagai “buku tulis” bagi anak-anak. Buku bacaan? Hanya Bang Ipul yang punya, dan boleh dibaca sepanjang hari. Mesin foto copy tentu belum ditemukan. Listrik pun belum dikenal di Rawa Belong. Bang Ipul tentu saja mulai dengan mengajarkan anak-anak mengenal huruf dan angka. Ini Satiri kecil bawel luar biasa, bertanya terus dia. Bicara tidak ada capeknya. Bang Ipul kewalahan, tetapi senang bukan kepalang. Setelah bisa membaca, Satiri segera membacai buku-buku yang ada di rumah Bang Ipul. Begitupun tetap saja tidak mau kalah dalam main petak umpet, main gasing, gatrik, kelereng ataupun kejar layangan. “Bang Ipul, minyak itu asalnya dari mana si, koq binya nyala kalau dibakar?” “Itu dari perut bumi… bla, bla, bla…” “Kalau Radio kenapa bisa bunyi ya, kan enggak ada orangnya?” “Itu elekronika… bla, bla, bla…” “Elektronika?” Bang Ipul segera tahu perbedaan Satiri, sehingga tak lama berselang meja ping-pong dibagi dua. Sebelah kanan khusus buat Satiri, sisanya buat anak-anak yang lain. Begitulah hari-hari berlalu hingga tahun ke-5, 1972. Tahun itu, baba (ayah) Satiri sakit keras, mungkin semacam tifus. Berminggu-minggu hanya terbaring di rumah. Lalu bagaimana keluarga ini bertahan? Selepas mencium tangan ibundanya dan memohon doa, Satiri kecil pelan-pelan mengeluarkan sepeda babanya agar tidak menggangu baba yang sedang meriang. Sobat-sobatnya mengingat betul kebiasaan Satiri mencium tangan ibunya dan meminta doa setiap akan bepergian. Berangkatlah ia ke medan perang. Satiri menaiki sepeda batangan ayahnya dengan satu kaki berada di bawah batangan sepeda itu. Sedapat-dapatnya ia mencari kembang dari kebun-kebun kosong dan semak belukar. Termasuk mawar, kembang sepatu dan kembang kemboja yang diambil dari pohon-pohon di sekitar pemakaman. Kembang-kembang itu dijualnya di pasar Kebayoran Lama dan Blok M. Itu artinya Satiri kecil, berusia sebelas tahun, mengayuh sepeda dengan gaya miring sejauh tak kurang dari 20 km setiap hari. Selama beberapa minggu. Anda boleh mengatakan bahwa malaikat-malaikat sudah membantunya. Yang sebenarnya juga: Ibunda dan adik-adiknya selalu menunggu kedatangan Satiri dengan penuh harapan. Pandangan mata mereka yang cuma satu-dua detik itulah yang memberinya kekuatan hingga berpuluh-puluh tahun kemudian. It’s definitely a quantum leap. A glimpse of time turns into an immortality. Tuhan menyembuhkan ayahnya, dan gurunya pun tidak lagi memiliki apapun untuk diajarkan kepadanya sebagai anak SD. Tanpa sepengetahuan ayahnya, Bang Ipul mendaftarkan Satiri untuk diikutkan ujian negara tingkat SD di SD Palmerah. Tidak ada kegemparan ketika diumumkan bahwa nilai Satiri adalah yang tertinggi sekecamatan, mengalahkan nilai semua anak yang setiap hari datang ke sekolah. Siapa pula yang mengenal siswa Satiri selain Bang Ipul? Ijazah SD itu hanya disimpan di lemari pakaian orang tuanya, satu-satunya barang berharga di rumah. Ijazah mengkilap yang sunyi, kesepian, tanpa arti. Bagi orang tuanya, dan kebanyakan orang tua Betawi saat itu, pendidikan terpenting bukanlah sekolah. Yang diutamakan adalah mengaji di Langgar (mesjid kecil, surau). Oh, jangan tanya, untuk urusan ngaji pun Satiri tidak mau kalah, bertahun-tahun hingga SMA pun ia juara Tilawah Qur’an. Bulan-bulan pun berlalu tanpa sekolah. Dan itu artinya waktu untuk bersenang-senang… Di sela-sela itu, Tuhan mencatat kata ‘minyak’dan ‘elektronika’ yang ditanyakan Satiri kepada bang Ipul. (BERSAMBUNG) SATIRI SAHABATKU PAHLAWAN BETAWI (3) . . Kata orang bijak, the time you enjoy to waste is not wasting time… Itu artinya kita memang butuh bersenang senang untuk menambah kekuatan… Di bulan ketujuhnya yang merdeka, Tuhan menurunkan gurunya yang kedua: Mas Paijo. (Tentu saja saya juga tidak tahu nama sebenarnya). Bujang dari Jawa ini kebetulan mengontrak rumah tidak jauh dari rumah Satiri. Pagi ia bertugas sebagai guru muda di SMP Negeri 66 Kebayoran Lama. Sore anak-anak juga suka main di rumahnya. Satiri remaja tentu tidak mau ketinggalan untuk berkenalan dengan orang baru ini. Langsung ia membombardir dengan belasan pertanyaan: “Mas Paijo kampungnya di Jawa yah?” “Mas Paijo kerja di mana?” “Mas Paijo tahu Australia sama Rusia*? Hanya dalam sekali pertemuan itu sajalah Paijo segera tahu bahwa Satiri ini berbeda. Mengajar Satiri yang banyak bertanya menjadi hiburan tersendiri baginya. Entah bagaimana, berhitung (matematika), bahasa Inggris dan pengetahuan umum menjadi subyek utama obrolan mereka setiap sore untuk berminggu-minggu kemudian. Datanglah masa untuk penerimaan murid SMP awal tahun pelajaran 1973. Saat itu awal triwulan dimulai bukan Januari. Kita belum mengenal sistem semester. Menghadaplah Paijo, guru muda yang berbangga kepada babanya Satiri. Paijo tentu tahu keadaan keluarga Satiri, sehingga dia memilih (atau tepatnya Tuhan memilihnya) untuk mengambil inisiatif. “Pak, ini anaknya pintar. Boleh ya saya masukkan ke sekolah saya?” “Iya terserah elu aja. Kita mah kagak gableg duitnya” (It’s all up to you. We don’t have the money for it…) Dibawalah Satiri ke SMPN 66, didaftarkan dengan uang pribadinya. Ini hebat betul. Mengapa? Karena untuk berpuluh tahun juara-juara di sekolah itu didominasi anak-anak kaya, cerdas luar biasa, keturunan Tionghoa. Tidak salah kalau Paijo berbangga. Mengapa? Karena murid kecilnya itu kemudain terbukti selalu menjadi juara umum hingga lulus SMP. Bagaimana Satiri membiayai sekolahnya? Ikut keliling berdagang kembang di sore hari, meniti jejak babanya. Hanya itu yang ia tahu cara mencari nafkah. Lainnya, ia selalu mendapat jajan dari teman-teman yang sering dibantunya belajar. Dia tidak pernah pelit dengan ilmunya. Mendekati akhir SMP, Satiri hanya bisa menerawang. Hatinya tidak pasti apa yang kemudian akan datang kepadanya. Karena Satiri mendobrak tradisi juara, para guru dengan spontan mengumpulkan uang dan buku tulis buat Satiri. Yang tak kalah gembira adalah bapak Kepala Sekolah, yang dengan uang para guru itu membawa Satiri untuk mendaftar di SMA Negeri XI (Sekarang SMAN 70), Bulungan, Jakarta Selatan. SMA terbaik nasional pada masanya. (Kebetulan juga abangku yang tertua lulusan SMA itu, dan setelah ia lulus ia diterima sekaligus di tiga universitas besar nasional, yang kemudian dia memilih masuk Elektro ITB). Satiri sebetulnya amat sangat ragu masuk ke sekolah elit itu. Dia tidak mampu membayangkan entah uang sekolahnya dari mana. Dan di sana semua anak orang kaya. Pandangannya kosong. Tapi Tuhan mencatat kata “Australia sama Rusia” itu… (BERSAMBUNG) ZCZC SATIRI SAHABATKU PAHLAWAN BETAWI (4) . . Walaupun dengan gontai, berangkat jugalah dia ke Bulungan. Satu-satunya alasan dia mau datang ke sana adalah karena sekolah itu dekat dengan tempat babanya berdagang kembang, di Jalan Melawai. Yang ia yakini cuma satu: Selepas sekolah ia bisa ikut dagang kembang. Yang lainnya, lihat situasi nanti sajalah. Orang-orang bilang, kembang itu tidak akan berkompetisi dengan kembang lain walaupun dengan yang ada di sebelahnya. Mereka hanya berupaya berkembang saja. Dengan persaingan yang super ketat, ia masih bisa berada di papan atas sekolah itu. Semester pertama dilaluinya dengan tertatih-tatih dalam biaya. Semester kedua dia memanfaatkan keraguannya itu dengan pengalaman kebaikan guru-gurunya waktu SMP. Datanglah ia menghadap Pak Lesilolo, sang legenda, Kepala Sekolah SMAN XI. “Pak, saya mau berhenti sekolah…” “Lho, mengapa?” “Saya tidak punya uang Pak…” Maka terjadilah dialog atau tepatnya interogasi panjang, dengan keputusan akhir: Satiri harus terus sekolah, tidak boleh bolos, dan tidak perlu bayar uang sekolah! Nah, Tuhan lagi-lagi menurunkan Gurunya yang ketiga. Maka Satiri pun semakin percaya diri. Tuhan yang tentunya memperhatikan kemampuan dan kemauan belajarnya. Karena Satiri pintar dan gaul, ceplas-ceplos, kocak, kalau bicara cenderung seperti Lenong Betawi, maka teman-temannya sering mengundangnya ke rumah mereka untuk belajar bersama. Tepatnya, untuk santap siang sedap bergizi. Suatu hari, selepas makan siang di rumah mewah salah seorang sahabatnya di bilangan Kebayoran Baru, Satiri dan kawan-kawannya itu belajar bersama di ruang terbuka lantai 2 menghadap ke muka rumah. Selepas belajar ketika sedang asik bercanda-ria, lewatlah babanya di depan rumah itu: babanya dengan sepeda onthel menjajakan bunga. “Cublum cihuy…”, begitulah suara khas teriakan pedagang bunga keliling. Mungkin dari sepotong bahasa asing "bloem". Satiri hanya bisa memandang babanya lewat dengan mulut menganga, diam sejuta bahasa, berasa ditampar popor senjata. Teman-temannya pun terkesima, aneh Satiri bisa diam seperti bata. Fatherhood is the great thing that could ever happen. You can't explain it until it happens—it's like telling someone what water feels like before they've ever swam in it (Michael Bublé). Bagaimanapun juga waktu terus berjalan. Satiri tetap di papan atas. Dari senior-seniornya pedagang kembang di Melawai dan Blok P (sekarang kantor Walikota Jakarta Selatan), dia juga belajar arti kehidupan, hal-hal baik maupun berbagai kenakalan: Warna sebenarnya dari hidup yang harus dihidupkan! Kala itu, musik dangdut adalah penguasa musik nasional dengan raja bernama Rhoma Irama. Satiri tentu saja ikut joged di barisan paling depan. Saya teringat salah satu teriakan joged yang paling khas pada saat itu: “Asiiikkk, ogah matiii… hooobah, ha… ha… ha…” (All right, don’t wanna die… yes, yes, yes…) Sejak SMP dia belajar gitar gitar di jalanan, khususnya tentu buat dangdut. Kocokan gitar dan cengkok dangdut yg dimainkannya bagai menyatu dengan dirinya. Dia tidak pernah punya hambatan menyatakan dan mempromosikan selera musiknya. Menurutnya dangdut itu khas Indonesia, diciptakan dan dipopulerkan oleh orang Indonesia. Untuk itu adalah pantas dan wajib kalau kita bangga dengan dangdut. Jika orang Indonesia saja tidak suka, bagaimana mungkin mengharap orang lain untuk suka? Buat Satiri, dangdut harus terus berjalan, ngaji juga tetap harus jalan. Di pertengahan SMA inilah Satiri berkenalan dengan Fitria, gadis mungil yang baru saja pindah ke Rawa Belong dan baru menginjak SMP. Fitria berasal dari keluarga Betawi yang cukup berada. Selain cantik, Betawi putih, Fitria juga pandai mengaji. Jadilah mereka berdua pasangan juara musabaqoh tilawatil Qur’an se kelurahan. Panjang gelombang alami mereka semakin berdekatan. Menurut Fisika Klasik, itu membangkitkan efek Doppler: saling memperkuatkan. Menurut Fisika Kuantum, panjang gelombang menentukan realitas mereka di masa depan. Ketika orang tua Fitria mengendus kedekatannya dengan Satiri, maka badai pun dimulai. Perbedaan status sosial. (BERSAMBUNG) ZCZC SATIRI SAHABATKU PAHLAWAN BETAWI (5) . . SATIRI adalah nama unik klasik Betawi. Saya belum pernah menemukan nama itu pada suku-suku atau bangsa-bangsa lain manapun di dunia. Keturunan Betawi masa kini juga tidak ada yang menggunakan nama itu. Anda tahu, klasik itu artinya membawa nilai-nilai abadi keindahan dan kebenaran. Seperti musik klasik, atau fisika klasik. Dan unik adalah perjalanan hidup sobatku yang satu ini, Satiri. Pada Semester terakhir kelas III SMA, negara mulai menyelenggarakan proses penerimaan mahasiswa perguruan tinggi negeri (PTN). Dibuatlah skema Proyek Perintis-1 untuk ujian nasional masuk PTN kelas-1 seperti ITB, UI, UGM dan IPB; Perintis-2 untuk seleksi masuk PTN kelas-1 berdasarkan nilai Rapor, tanpa harus ujian; Perintis-3 untuk ujian nasional masuk PTN kelas-2; dan Perintis-4 untuk ujian nasional masuk IKIP, universitas pendidikan, alias calon guru sekolah. Bagaimana dengan Satiri? Selepas semester-5 di SMA, dia termasuk elit yang boleh ikut mendaftar Perintis-2. Ini membuatnya tercenung cukup lama. Bagaimana dengan uang kuliahnya nanti? Bayar praktikumnya berapa? Yaah, daftar dulu sajalah, urusan belakangan, mumpung boleh daftar dan gratis. Semoga Tuhan nanti kasih jalan. Sejauh mampu dia pikir, maka masuk FMIPA UI Jakarta adalah satu-satunya pilihan. Oia, harus diingat juga bahwa Perintis-2 itu dibatasi untuk masuk ke universitas pada jurusan matematika dan sains saja. Belakangan kita tahu bahwa sebenarnya kebijakan pemerintah Indonesia saat itu sangatlah tepat: Kalau Indonesia mau maju, sains harus menjadi basis yang kuat untuk pengembangan teknologi, harus diisi oleh orang-orang pintar, juara-juara di SMA. Satiri hanya bisa berpikir, bahwa untuk menyambung kuliahnya nanti di Kampus Salemba, dia bisa naik sepeda dan tetap dagang kembang. Ya, hanya itu yang dia tahu. Pengumuman Perintis-2 datang di sekitar pengumuman kelulusan SMA. Ujian Perintis-1 baru dilakukan sekitar 2 bulan setelah kita terima ijazah. DI SMA XI Bulungan, diumumkanlah bahwa Satiri diterima di FMIPA ITB, bukan di UI seperti yang ia lamar. Loh, koq bisa begitu? (OMG, how comes?) Bertanyalah Satiri kepada salah seorang guru, Pak Meilani. Saya kebetulan kenal guru tersebut, karena beliau nyambi sebagai guru di SMA saya: SMA swasta tak ‘berkelas’. “Pak, ini mengapa saya melamar ke UI diterima di ITB?” “Ah, elo Tong, dasar anak Betawi. Sudah bagus diterima di ITB. Kalau nggak, anak Betawi kan paling juga jadi pedagang buah”, katanya rada ketus. Menggunakan logat Betawi pula dia… “Yaah, Bapak…” Berhari-hari dia berpikir keras, bagaimana dia bisa ke ITB? Seumur hidup dia belum pernah keluar dari tanah Betawi! Bagaimana dengan uang kos? Buntu pikirannya. Duh, Tuhan… Dan Tuhan pun mendengar keluhannya, memberanikan kakinya untuk merangkak lagi menghadap Pak Lesilolo, sang legenda, Kepala Sekolah yang diyakini menjadikan SMAN XI sebagai sekolah terbaik nasional. “Bapak, ini mengapa saya melamar ke UI diterima di ITB? dan saya juga tidak tahu bagaimana akan ke ITB?” “Kasih saya waktu beberapa hari yah…”, jawabnya singkat dengan tenang kebapakan. Agaknya dia punya jawaban dari semua pertanyaan. Tunggu. Something should be very wrong. Karena pertanyaan pertama Satiri itu tidak dijawab, maka dia jadi tahu bahwa SMAN XI memang sengaja menjebloskan Satiri ke ITB, sekolah MIPA yang dianggap terbaik nasional saat itu. Sesuai janji, lepas beberapa hari Satiri dipanggil untuk menghadap Kepala Sekolah. Satiri sudah ambil ancang-ancang untuk membalas perbuatan kepala sekolah yang menjebloskannya ke ITB. “Awas kamu…” Tanpa pendahuluan apapun, kepala sekolah langsung mengatakan: “Kamu nanti tanggal sekian jam 7 malam datang ke sini yah…”, seraya memberikan secarik kertas. Di situ tertulis nama Jenderal “O” dan alamatnya di Kebayoran Baru. Belakangan Satiri tahu bahwa Jenderal O adalah Direktur Utama salah satu BUMN. Di jaman orde baru ya semua memang serba militer. Satiri lupa akan niat pembalasannya. Kata orang-orang pintar, lupa itu bagian dari nikmat dan keselamatan dari Tuhan. Dikipas-kipasilah dirinya untuk datang ke rumah sang Jenderal pada Hari-H dan Jam-J yang sudah ditentukan Sang Legenda. Dalam hatinya, pokoknya kalau disuruh apapun aku harus bilang “mau”, asalkan bisa kuliah di Bandung. Tidak ditempeleng sang Jenderal juga sudah bagus kan.. “Selamat malam Pak Jenderal…”, sapanya sambil mencium tangan sang Jenderal. Mencium tangan ibundanya berpamitan tadi, itulah yang nomor satu, kebiasaan dia. “Malam. Katanya kamu anak pintar yah?”, langsung boss menyergap, khas Jenderal. “Eh, anu Pak, eeh…” “Kamu mau minta beasiswa dari saya?” “Eh, anu Pak, saya, eeh… Mau Pak, mau…” “Kamu mau kalau sambil kuliah saya tugaskan juga bekerja di perusahaan Cabang Bandung?” “Mau Pak, mau…”, jawab Satiri lebih mantap dari sebelumnya. Ada angin segar lewat. “Kamu mau hanya dikasih uang seadanya untuk kuliah?” “Mau Pak, mau…” “Kamu mau saya kasih kamar kontrakan kecil di Gang kecil yang becek?” “Mau Pak, mau…” “Mau kamu saya suruh jadi salesman produk kami, berdagang keliling kampung di sekitaran Bandung? “Mau Pak, mau…” “Kamu ini ya… Koq mau-mau terus? Kamu itu sebenarnya mau kuliah, atau mau kerja?” hardik sang Jenderal. “Kuliah saya mau. Kerja juga saya mau Pak”. Mantap. Untuk beberapa saat, tercenung juga sang Jenderal mengamati Satiri. Mungkin dia sedang melihat dirinya waktu seumuran Satiri. Belakangan Satiri mengatakan kepadaku bahwa Jenderal O tidak dikaruniai anak kandung, tetapi punya satu anak angkat yang baik hati. Akhirnya, “Baiklah, minggu depan akan saya sampikan keputusan kami kepada gurumu. Banyak berdoa saja yaah…”, tutup sang Jenderal. Dengan nada datar. Tidak ada kejelasan. O-ow… Satiri hanya bisa terpukau lemas. Dan dia tetap harus mengatakan dengan tegar dan pasang senyum: “Terima kasih banyak Bapak Jenderal…”, seraya mencium tangan sang Jenderal. Keluar dari rumah besar itu pandangannya kosong, penuh keraguan. Dia bahkan harus duduk di kedai rokok, menenangkan dirinya selama hampir setengah jam, sebelum mencari bus Blok M – Tanah Abang. “Apa aku juga harus berdagang rokok seperti ini juga ya…” SATIRI SAHABATKU PAHLAWAN BETAWI (6) . . Malam itu ia tiba di rumah sekitar jam sembilan. Ah, masih ada waktu buat si doi pujaan hati. Dibawalah gitar Pos Ronda langsung menuju rumah sang pacar, Fitria. Jrengg… “… Sungguh karena dia Aku di depan anda Memberanikan diri Bergaya dan bernyanyi Pandangan pertama Awal aku berjumpa Pandangan pertama Awal aku berjumpa…” Ya ampuun, itu lagu dangdut, eh, nasional, paling top saat itu, “Pandangan Pertama” oleh A. Rafiq. Satiri tahu, sang pujaan belum tidur, karena lampu kamarnya terlihat masih dihidupkan. Kode penantian sang pacar. Manalah dia berani masuk ke rumah gedongan itu. Babanya Fitria galak. Selagu belum selesai, tiba-tiba… “Hoi, lu ngapain ngamen depan rumah orang malem-malem begini!,” Satiri langsung ngacir… (“Gosh what are you doing man!” and then Satiri run away at once. Gosh…) Ya sudah, yang penting sudah kirim lagu buat sang pujaan hati. Pasti dia senyum-senyum sendiri kegirangan di kamarnya. Walaupun babanya tadi sempat ngamuk. Kembali ke rumahnya, Satiri merenungkan kembali kata-kata Jendral O. Mengapa dia tidak menjawabnya secara langsung? Sepertinya kecil harapan. Tetapi dia ingat bahwa dia tadi sudah bilang terima kasih dan cium tangan. Bersyukur. Kemampuan untuk bersyukur dan berterima kasih adalah nikmat yang orang-orang sering menganggapnya kurang penting atau relevan. They take it for granted. Padahal sebaliknya, anda harus mengasahnya, merawatnya baik-baik. *** Seumur hidupnya hingga SMA Satiri belum pernah meninggalkan tanah Betawi. Semua saudara ayah-ibunya adalah orang Betawi dan tinggal di Betawi. Bertanyalah dia ke banyak orang bagaimana caranya untuk sampai di Bandung. Naik bus adalah pilihan utama, lewat Bogor dan Puncak. Kecerdasannya memudahkan ia untuk mencari kantor cabang sang Jenderal, menerima uang dan sekaligus pekerjaan, mencari kantor ITB, dan mendaftar, serta mencari kontrakan yang murah. Uang harus dihemat. Sebagaimana perintah sang Jendral, mulailah dia keliling kampung menjual berbagai produk termasuk jam tangan. Didapatinya bahwa hal ini beda betul dengan dagang kembang. Setiap hari selama bulan pertama itu selepas kuliah pagi atau sebelum kuliah siang dia keliling rumah-rumah padat penduduk di sekitar ITB. Dari mulai belakang UNISBA, Pasar Balubur (sekarang Baltos), Pelesiran, belakang Kebon Binatang hingga ke Lebak Gede (sekarang Sabuga). Kadang naik juga ia ke Cisitu hingga daerah Dago Atas. Kadang merambah juga dia ke Sekeola, perkampungan di depan UNPAD, yang kebetulan kontrakannya nyempil di Tubagus Ismail Bawah, persis di pinggiran kali kecil. “Jam tangan, dompet alus, gesper, ayo ibu-bapa, teteh, mangga dicoba..” terikanya menjajakan dengan sepatah dua patah kata bahasa Sunda. Kadang dia bernyanyi dangdut untuk menghibur calon pembelinya. Ketika dia sedang capek karena barang-barangya susah laku, dia mulai berpikir: ini perusahaan produknya seperti ini marketingnya mengapa begini ya? Ah, super ngawur… Tak lebih dari sebulan pekerjaan ini dilakoni. Di kosannya dia mendapat surat untuk menemui sang Jenderal yang kebetulan ke kantor cabang Bandung. “Kamu fokus kuliah saja. Sampai kamu lulus. Nilai-nilaimu harus bagus, dan laporkan ke saya...” “Kalau ada kebutuhan tambahan silahkan buat pengajuan ke Kantor Cabang." "Kamu enggak usah dagang lagi. Penjualan kamu juga jelek!” Horeee… Tuhan lagi-lagi menurunkan bantuan. Tentu ini Tuhannya siapa saja yang berani mengangkat beban. Duit sudah di tangan. Kuliah tahun pertama kan cuma perkuatan SMA plus sedikit laa. No problemo. “Kalau begitu, mending aku bantu-bantu baba dagang kembang. Sekalian lihat-lihat Fitria yang hatinya juga sedang berkembang”. *** Awal masuk ITB, rambutnya dibuat Punk, dengan blue jean dan kaos oblong jadi andalan. Kaos kebanggan yang itu-itu juga, tiga potong, buatan Tokema ITB. Gaya lenongnya memukau semua anak MIPA yang cenderung serius. Karena dapat angin kadang gayanya terbawa masuk ke ruang kelas. Ini kebanalan yang ke sekian, pas dosen menjelaskan teori pada salah satu praktikum Kimia-I. Pak dosen tua, mungkin juga sudah sedikit rada-rada lupa… “Untuk masalah ini, saya lihat dulu bukunya ya..” “Iya Pak lihat saja dahulu bukunya Pak biar jelas,” potong satiri dengan nada jenaka… Gerrrr sekelas praktikum tertawa gempar. “Kamu keluaaaar!!!” teriak sang dosen mengamuk… Dari ketawa ngakak, seperti langsung disiram air es. Dengan wajab pucat dan gontai Satiri keluar lab, kecut… Besoknya kawan-kawan berupaya menghiburnya, tapi dia masih juga bisa bercanda. “Kalau Kimia-I ini gua lulus, gua mau buka baju guling-guling di depan lab Kimia,” katanya. Ini kayak nazar mission impossible. Sebab praktikum kimia itu cuma 6x satu semester, dan salah satunya sudah dinilai nol. Nilai kimia itu nilai ujian plus praktikum, tapi praktikumnya juga harus lulus. Untuk diketahui, di kelas saya, hasil ujian akhir Kimia-I itu berkisar antara -5 sampai dengan 92. Ya betul: ada yang dapat minus lima. Ini ITB jaman old-school bung… Pada akhir semester, kejadian. Tuhan mendengar janjinya itu: Satiri lulus Kimia-I. Benarlah itu terjadi di depan mata semua orang, dia buka baju terus guling-gulingan di depan lab Kimia. Waduuuh… Kebayang kaan… Makanya jangan sembarang janji yah… Sore ketika di kosan dia teringat Fitria, sang pujaan… Pulang… (BERSAMBUNG) SATIRI SAHABATKU PAHLAWAN BETAWI (7) . . Orang bilang, makna karaktermu adalah sifatmu. Dari hari ke hari, apa yang kamu pilih, apa yang kamu pikir dan apa yang kamu lakukan itulah yang akan menjadikanmu sebagai dirimu di masa depan. (Heraclitus) Semester I berlalu, dan dia lulus di semua pelajaran dengan nilai-nilai yang lumayan. Semester II dia semakin berani, dan jarang ada di Kampus. Maklumlah di kampus kami saat itu hampir semua pelajaran tidak meminta absen. Kalau pun ada absen masih bisa titip teman, tanpa ada pemeriksaan. “Mahasiswa itu orang dewasa yang harus berani bertanggung-jawab atas dirinya,” begitu kira-kira dosen kami dulu mengajarkannya. Padahal, malas lah mereka mengurus absen segala. Duit dari BUMN sudah ditangan, dan dia pun mempertebal tabungan dengan ikut dagang kembang. Apa pasal? Itulah si Fitria, gadis manis mungil yang pandai melantunkan Qur’an. Semakin keluarga Fitria melarang-larang Satiri untuk menemuinya, semakin kuat tekad Satiri untuk segera menyuntingnya. Anda tahu Hukum Ke-3 dari mas Newton: Ada aksi, maka ada reaksi dengan daya yang sama kerasnya ke arah yang berlawanan. Harus kumpulkan sejumlah uang! Karena bukan anak tokoh, Satiri tidak pernah dianggap oleh ayahnya Fitria. Sekurang-kurangnya hingga saat itu. “Anak kuliah, apalah artinya anak kuliah, kalau calon besanku itu bukan siapa-siapa?” Konon, babanya Fitria sudah berkali-kali berupaya menjodohkannya dengan beberapa ‘calon potensial’. Ada duda muda pengusaha tajir pemilik puluhan angkutan kota “si DOI”, Tanah Abang – Kebayoran Lama, jalur emas 24/7 pol. Ada juga anak pak Haji yang tanahnya super lebar di bilangan Kebon Jeruk! Waktu mereka satu per satu didatangkan ke rumah, Fitria hanya diam saja mengkerut. Nyaris tidak mengatakan apa-apa. Setelah kepulangan mereka, babanya naik darah: “Lu mau cari yang begimana lagi si?” (What the hell you want better than this, eh?! Be grateful!) “A… aa… aye be… belon berani Ba?” katanya tambah mengerut. (I… I am… I am not dare enough yet, dad…) “Awas, kalo elu macem-macem lagi ame calon yang ketiga besok ye?” ancam babanya. (Behave if you had to meet your next man I proposed for you!”) Sementara itu, pertemuan kucing-kucingan antara keduanya terus berlanjut dibantu oleh adik-adik tersayang masing-masing pihak. Ada yang berjaga-jaga beberapa puluh meter dari rumah untuk memberi tanda jika baba Fitria tiba-tiba pulang saat malam-malam Satiri menggitarkan lagu-lagu cinta buat sang pujaan… (This part is true story, guys!) Bagian yang kemudian, maaf ya sobat, saya tidak berani menceritakan rinciannya kepadamu. Tambah pula drama satu babak pro-kontra antara babanya Fitria dengan 'encing'nya (adik lelaki babanya Fitria) mengenai Satiri. Singkat cerita, “Saya nikahkan engkau ananda Satiri bin Muhammad Zen dengan Fitria… dibayar tunai,” ijab babanya Fitria kepada Satiri, sambil buang muka. Duhhh… “Saya terima nikahnya Fitria… dibayar tunai,” kabul Satiri dengan wajah sumringah penuh kemenangan. Barang siapa yang memilih menerima tantangan, dia harus berani untuk menghadapi kekalahan ataupun kemenangan! Orang sekampung mencintai mereka berdua sebagai pasangan cantik dan ganteng, pandai mengaji, dan baik hati. Dari tangan ke tangan mereka memindahkan ‘seserahan’ (marriage gifts) dari rumah Satiri ke rumah Fitria. Tidak kurang dari 300 meter jaraknya! Ada kasur dan perlengkapannya serta ROTI BUAYA* (ini semua wajib buat pengantin Betawi), ada tas tangan dan pakaian buat pengantin wanita, handuk sepasang, ada sepatu dan sandal bagus dan lain-lainnya. Semuanya hasil jerih payah Satiri dagang kembang dan dari beasiswa Jenderal O. Semuanya mengalir penuh keceriaan, sambung menyambung tanpa hambatan… Perjaka muda Satiri dan perawan muda Fitria sah menikah di awal Semester-2 Satiri di ITB. Lah, terus kuliahnya bagaimana? Rupanya bukan cuma itu yang harus dihadapi Satiri. Babanya stress berat. Waktu pertama Satiri memberitahu babanya bahwa dia diterima untuk kuliah di ITB, babanya diam saja tidak tahu harus berkata apa atau bersikap bagaimana. Apa itu ITB mungkin dia juga kurang pasti. “Iya terserah elu aja begimana nyari duitnya…” Beberapa kari kemudian, tetangganya satu persatu menyalaminya, dan terus semakin banyak pula yang mendatanginya. Bahkan kenalan lama dari kampung sebelah juga datang, khusus untuk mengucapkan selamat kepadanya: “Selamet ya Zen… Anak elu ini bakalan jadi insinyur, jadi orang kaya beneran. Bukan 'kaya gusuran'…” ('Kaya gusuran' adalah istilah untuk orang yang mendadak kaya karena menjual tanahnya ketika harga tanah melambung tinggi) Di situlah babanya baru sadar bahwa anak sulungnya lagi bikin kantong emas yang bisa diandalkan. Tidak bakalan lama lagi dia hanya tinggal uncang-uncang kaki saja, tidak perlu lagi dagang kembang yang melelahkan. Anak gua bakal jadi insinyur, jadi insinyuur, jadi insinyuuur… Nah, tiba-tiba di akhir semester-1 itu ia seperti disambar petir, dibangunkan dari mimpi indah: Anaknya memilih menikah… “Abis dah abiiiis…” (this is the end, my love, the end…) Babanya berkeluh menggumam seperti itu sepanjang hari, selama lebih dari seminggu, dan bahkan terus berkepanjangan. Di mata orang-orang tua jaman itu, ketika seorang anak menikah, maka putuslah sekolahnya. Berhentilah masa depannya. Habis… Masih ada lagikah masalah lain yang harus dihadapi Satiri? Unfortunately, yes. Nasib belum mau berdamai kepadanya. Sebagaimana layaknya pengantin baru, setelah ijab-kabul dan walimah pernikahannya Satiri tinggal di rumah mertua. Hari-hari pertama, hubungan antara Satiri dengan ayah mertuanya berjalan dingin, saling menghindari, menyapa seadanya. Seminggu kemudian keadaan mulai memanas. Konfrontasi langsung tentu tidak mungkin ada. Manalah ada orang tua yang menginkan anak perempuannya segera menjadi janda. Satiri yang walaupun jenaka cukup sensitif membaui potensi percekcokan besar antara kedua mertuanya. Mungkin ini hanya ekses dari ‘kekalahannya’ menghadapi Satiri. Sebelum yang seperti itu terjadi, keputusan berat harus dibuat: Pindah ke rumah orang tua Satiri. Fitria. Dari rumah gedongan, pindah ke rumah sederhana, untuk mengubahnya menjadi rumah cinta! Menghadapi mertua, rasa sayangnya kepada Fitria yang luar biasa, dan menghadapi babanya sendiri secara bersamaan, semua itu adalah karena pilihan sadarnya. Tentu saja Satiri kalang kabut, ketakutan. Sudah membuat istri kesayangannnya ikut menderita, dan membikin babanya tersiksa. Dia berupaya meyakinkan babanya bahwa dia tidak akan berhenti kuliah, dan tetap akan dapat uang beasiswa, dan juga tetap akan dagang kembang. Berhasil? Tentu saja tidak, semua upayanya itu nyaris gagal total. Babanya semakin stress berat. “Ya Tuhan, aku sudah menjalankan sunahMu untuk menikah. Menghindari diri dari berzinah. Apa lagi yang harus aku lakukan?” (BERSAMBUNG) *Foto: “ROTI BUAYA yang harus selalu ada dalam pernikahan adat Betawi”. Sumber: Internet. Dalam budaya Betawi, dikatakan roti buaya adalah simbol buaya siluman yang dipercaya selalu ada dan menjadi pelindung di semua entuk atau sumber mata air (sumber kehidupan) di tanah Betawi. Lelaki harus memberikan sumber kehidupannya kepada perempuan. SATIRI SAHABATKU PAHLAWAN BETAWI (8 ) . . Jawabannya adalah berdoa kepada Tuhan, banting tulang dan memeras pikiran; ditambah-tambah dengan mencium tangan ibunya setiap pagi dan malam. Kadang kita terlalu abai untuk dengan mudahnya mengatakan biarlah waktu yang akan meneyelesaikannya. Itu hanya berarti bahwa anda tidak akan pernah siap untuk menerima kekalahan apalagi kemenangan. Kehadirannya di kampus pada semester-2 menjadi jauh lebih rajin. Tentu perlu sedikit masa untuk sedikit menjauh dari baba maupun mertua. ‘Jauh lebih rajin’ di sini artinya dia ada minggu pertama kuliah, seminggu tiap bulan, dan dua minggu pas ujian akhir. Cukup untuk menunjukkan ke Babanya bahwa dia masih kuliah. Apa lagi yang harus ditunjukkan? Oke, sukses harus ditunjukkan. Caranya? Ajukan proposal permintaan dana tambahan untuk biaya praktikum. Beres, uang langsung keluar. Kan ikut anjuran sang Jenderal. Bukti pembayarannya? Gampang. Beli kuitansi tukang sayur, ambil cap-capan himpunan, minta siapa saja tanda tangan (biasanya sobat Bejo selalu mau membantunya!). Tok. Beres. Mana ada staf kantor cabang berani sama ‘anak’ Jenderal? Langsunglah dia merangsek ke Kings, pertokoan anyar sekitaran alun-alun Bandung untuk membeli sepatu Adidul. Untuk sepatu, seingatku dia hanya mau dua merek saja: Adidas atau Bally. Harus sepatu bagus, katanya, karena perlu banyak jalan kaki. “Bukan cuma buat begaya…” Dari situ dia bisa berjalan kaki ke simpang jalan ABC-Suniaraja, toko optik dan jam yang legendaris. Dan jam tangan Casio dual-digital pun langsung nempel di tangan kanannya. Seumur hidup, baru pertama kali ada jam tangan di sana. Yang teringat teman-temannya adalah seminggu itu sambil jalan dia selalu memiring-miringkan badannya ke kanan… “Berat ini jam baru gua…” Huahahahah, teman-temannya ikut bahagia… (Belakangan kenakalan kecil ini harus ia bayar mahal!) Baba juga melihat Satiri tetap kuliah, dan malah pakai sepatu dan jam anyar warna perak bersinar. Mulailah babanya sedikit cerah, dan menambah-nambah do’a kekuatan buat anaknya. Ibundanya tidak kalah banyak berdo’a untuknya siang-malam. Pada akhir semester-2, nilai-nilai Satiri terbukti lebih tinggi dari nilai-nilainya di semester-1. What didn’t kill you makes you stronger! “Baba ini lihat nih, nilai-nilai aye yang sekarang lebih bagus dari sebelon aye kawin…” (Dad, look, my grades this time are a lot better than before I got married…) Baba semakin tenang. Fitria yang dari rumah gedongan pindah ke rumah Satiri membantu mencairkan suasana. Selepas subuh, ia ‘nimba’ air di sumur dan mencuci pakaian sekeluarga dengan papan ‘penggilasan’ itulah tugas yang ia berikan buat dirinya. Demi suami tersayang. Pekerjaan seperti itu nyaris tidak pernah ia lakukan sendiri di rumahnya. Berat tetapi menyenangkan. Sementara itu, “ii”, panggilan sayang ibunda Satiri, menyiapkan sarapan pagi ala kadarnya: Singkong atau ubi rebus, atau nasi uduk kalau lagi ada rejeki tambahan. Hari-hari yang melelahkan namun mebahagiakan itulah yang mebuat dirinya segera hamil. Di usia yang begitu muda. Oia, bahkan ketika menikahpun usianya di KTP harus ditambah angka dua. Di akhir semester-3, ketika kami ujian Thermodinamika-I, lahirlah putri pertama mereka, dan dengan spontan Bang Tiri kasih nama: Eka Thermikelvi Safira. Anak pertama (eka), lahir waktu ujian Thermodinamika dengan satuan Kelvin, buah cinta Satiri dan Fitria. What an amazingly beautiful name ya Kelvy Safira *** Selama kuliah di Bandung, sebetulnya Satiri nyaris tidak punya alamat tetap. Satu-satunya rumah yang pasti baginya adalah di rawa belong, cintanya. Kosan atau kontrakan manapun suka menerimanya. Apalagi rumah di Jl. Gardu Jati 98: Boy, tokoh sakti lainnya dari dunia kangouw Fisika. Di rumah itu kadang kami mengundang BDU yang hebat itu, atau FPZ yang sekarang profesor fisika, untuk beradu ilmu, eh, minta responsi tambahan. Sejauh saya mengenalnya, Satiri tidak pernah lebih dari enam hari di Bandung. Pernah memang dia terdesak untuk mengerjakan skripsinya dua minggu di Bandung. Di antara dua minggu musim ujian pun dia memilih ‘terdesak’ pulang ke Rawa Belong, kepada cintanya… Mengapa cuma enam hari? Yang dia bawa ke Bandung ya hanya dua potong kemeja atau T-shirt made in Tokema. “Blue jean kan masih enak dipakai dua minggu…” begitulah dia mengelak dengan cukup sopan. Kepada teman-teman, dia bisa titip absen kalau diperlukan, atau titip permohonan untuk dikirimi telegram jika ada ujian dadakan. Ya, surat telegram yang ada di Kantor Pos. Telegram yang harus kita tulis tangan, singkat, padat, karena kita harus membayar sesuai dengan jumlah kata yang kita gunakan. Contohnya: Ujian fisika kuantum dua belas agustus titik Sesuai kesepakatan, telegram kita kirimkan ke “Prof. Satiri”, Jalan Salam 1 Gg. Buntu bla, bla, bla… Kali ketiga Tukang Pos mengirim Kartu Pos ke rumahnya, langsung teriak senyum-senyum: “Professor Satiriiiii, Kartu Pos ujiaannnn….” Manalah ada prof. tinggal di gang buntu! Ampuun… Soal per-telegram-an ini lantaran dosen biasanya memberi tahu jadwal ujian dadakan seminggu sebelumnya: Itu umpamanya tanggal 5. Hari itu atau besoknya kita kirim telegram. Tanggal 9 Satiri datang ke Bandung, langsung pinjam catatan untuk difoto copy. Tentu saja dari siapa lagi kalau bukan dari CR atau OR, dua di antara enam bidadari Fisika yang cantik-cantik, rajin dan maha pintar. Selama tiga hari dua malam itu dia duduk membacai foto copy. Atau, dia dengan sabar menunggu kita merelakan buku teks kita untuk dia baca. Satiri tidak pernah punya buku, apalagi buku tulis. Uang untuk itu, lebih baik untuk beli susu anaknya. Iya, dia cuma membaca saja. Dalam membaca itu dia ‘hilang’ entah kemana. Kalau sudah lenyap begitu, tak berani lah kita mengganggunya. Dipanggil-panggil juga dia tidak akan berpaling, apalagi menyahut. Dia sedang mengembara di dalam buku itu. Bukankah perintah pertama dari Tuhan itu membaca? Kita, yang katanya normal, banting tulang setiap hari ikut kuliah dan bahkan asistensi pun harus corat-coret melakukan hitung-hitungan untuk menjawab soal-soal tahun lalu. Bahkan bertanya kesana-kesini. Satiri hanya perlu duduk membaca. Naah… Kita juga tahu, mana ada dosen kasih soal gampang. Pak Pantur, dosen kita yang paling keren itu biasanya memberi kita hadiah soal ujian dari Ph.D qualifying exam-nya dulu di Princeton. Sorry ya guys, Pak Silaban ini murid dari muridnya Einstein! Kuliah di Bandung koq mau soal gampang. Jiah… Oia, di jaman old school itu, dosen tidak peduli dengan kehadiran apalagi nilai mahasiswa. Pernah di pelajaran Mekanika Lanjut yang diisi 65 orang, hasilnya: 1 orang dapat A, 2 orang dapat B, 13 orang dapat C, sisanya D, E, atau F. Distribusi normal tidak diberlakukan. Saya sungguh sangat berbahagia mendapat nilai C. Nilai Satiri biasanya dua tingkat di atas kebanyakan orang. Itu artinya di kuliah ini dia dapat B. Kalau orang-orang pada dapat C, ya dia dapat A. Otomatis itu… Kalau anda iri kepadanya, dan merasa Tuhan tidak adil, itu urusan anda. Bukankah ada juga mahasiswa lain yang dapat nilai A? Buat saya, itu bukan soal keadilan. Realitas dan kemampuan setiap orang adalah sejarah kerja keras pikirannya masing-masing. “It’s not that I’m so smart, it’s just that I stay with problems longer”, begitulah kata Bapak Einstein yang bijak itu. Lantas, bukankah Mekanika Kuantum itu juga mengajarkan bahwa yang anda pikirkan itulah yang akan menjadi kenyataan? Anda berpikir, maka anda ada. Ujar Descartes. Satiri kecil bertanya, berpikir, tentang ‘minyak’, ‘Australia’ dan ‘Rusia’. Para Malaikat mencatatnya. (BERSAMBUNG) SATIRI SAHABATKU PAHLAWAN BETAWI (9 dan 10) . . Beranjak tahun ke-2, kami masuk ke Departemen yang kita pilih, dan terpilih untuk boleh memasukinya. Yang pertama kita hadapi untuk berkelahi adalah Himpunan Mahasiswa Fisika (Himafi), bukan Departemen Fisika. Ya, orientasi studi atau OS, atau lebih tepatnya perpeloncoan. Tempat kita digojlok. Macam-macam lah perintahnya: Koran satu halaman (bukan satu lembar!), kue yang harus dibagi setengah secara berantai (bayangin dulu…), scott-jump, suntik bumi, dan semua kegilaan lain buat kita semua yang bukan ‘seksi mampus’. Nah, itulah Satiri, dia pura-pura mampus, digotong seksi mampus ke RS Borromeus. Kadal mau dikadalin. Hahahah… Semua aturan perpeloncoan di dunia itu sama: 1. Junior selalu salah; 2. Kalau Senior salah, lihat aturan nomor satu; dan, 3. “Ya, dewa…” itulah jawaban pertama dan satu-satunya jawaban yang harus kita berikan. Setelah dua minggu babak belur dipelonco setiap hari dari jam 6 pagi hingga jam 11 malam, kita dibawa camping. Kalau tidak ke hutan pinus Cikole, Utara Bandung, bisa juga ke Ranca Upas menuju Situ Patengan (kita sering melafalkannya sebagai Patenggang), Selatan Bandung. Mana saja asal hutannya lebat, banyak genderuwonya, dan dinginnya alang kepalang. Tibalah kita pada puncak acara: JURIT MALAM. Pas tengah malam kita disuruh menelusuri jalur hutan belantara yang ditentukan Panitia, dengan hanya berbekal satu lampu senter saja. Kita dilepas berdua-berdua dengan jarak 10 menit. Biasanya ada lima pos yang harus kita lalui, dan di setiap pos itu ada tugas dari senior yang intinya kita dikerjailah di sana. Seingatku Satiri dipasangkan dengan teh Lilis. (Teh Lilis adalah bidadari yang paling dihormati dari enam “Physics’80 Angels”). Lepas dari Pos-2, muncul ide gilanya. “Teh Lilis, kita berhenti di sini dulu. Teteh diam saja di situ ya...” “Emang Satiri mau apa?” katanya dengan nada Sunda yang empuk dan lemas. Belum selesai teh Lilis bertanya lebih jauh, Satiri berteriak ke arah belakang: “Wooi, jongkooook… Jalan jongkok ke sini!” hardiknya. Siapa yang dihardik? Pasangan tim yang ada di belakangnya! “Ya, dewa…” begitulah mereka melata sambil jongkok mendekat. Tak lupa dengan kedua tangan yang dirapatkan di belakang kepala. Otomatis, walau tanpa diminta. Dasar gelo. Lima pasangan teman-temannya sendiri kena dikerjai, termasuk Boy: “Angkat muka. Lu enggak tau gua siapa?!” bentaknya. “Wasssah… dasar Bangsaat!” Boy hanya bisa mangkel, sontak berdiri memendang Satiri dengan canda, dan mereka tertawa bersama. Oia, “Bangsat” atau “Bang Sat” itu adalah panggilan tersayang buat Satiri. Bang Tiri itu cuma panggilan akrab, hormat, atau digunakan sebagai orang ketiga. Di hari terakhir masa OS seperti itu tentunya mental semua orang sudah down, dan ngantuk. Disuruh apa saja pasti mau, asal acara cepat selesai. Hanya Satiri yang tahu itu… Bertahun-tahun kemudaian tidak pernah kudengar ide gila seperti itu. Sama juga dengan kegilaannya menggunakan kuitansi tukang sayur dan cap himpunan. Hidup itu bukan hanya Fisika. Hidup itu ya harus dihidupkan! Tahun berikutnya, ketika kami mendapat giliran mengelola OS, Bejo jadi Ketua, Satiri jadi seksi kesenian. Seni suka-suka. Ada yang dikasih nama: Nyongclo, Goceng, Kantil, dan apapun nama yang ia bikin sekenanya. Oia, nama ini secara tradisional harus ditulis tebal pada karton segede gajah, dilaminating, dan digantung di dada kita. Nama itulah yang jadi nama resmi selama OS. Gantungan nama akan dibakar pada acara api unggun perdamaian setelah selesai jurit malam. Menandakan akhir masa OS dan semua senior resmi menjadi saudara, teteh dan akang. Di saat itulah Satiri dengan senang hati menyenandungkan kocokan gitar dangdut untuk salah satu balada kesukaannya: … engkau kejam engkau sadis kekasihku, yang egoistis tapi manis, seperti pala manis kau putuskan tali cintaku, yang tebal seperti tambang kapal hatiku kini hancur luruh, bagaikan cermin yang jatuh dari helikopter tak mungkin bersemi lagi.. Reff.: kini tiada lagi cinta, yang tinggal cuma celana kolor hidup trasa hampa udara napasku, sesak seperti menghirup asap tabunan kan kubawa luka hatiku, berlari marathon lewat jagorawi smoga aku dapat melupakan, wajahmu yang bulat, seperti bangkuang bogor ohoooooo kekasih ohoooooo… (Benyamin Sueb, “Cintaku Berat Diongkos”) *** Ada suatu masa dia lagi-lagi menggunakan cap himpunan untuk membeli sepeda motor anyar, Honda Astrea. Alasannya, dana untuk penelitian tugas akhir. Masuk akal. Mana ada kelian berani kek gini kan? “Lagian capek kan Bandung-Jakarta naik bus melulu..” ujarnya kepadaku. Iya, aku ingat, dulu kalau mau cepat kita harus pilih bus yang sopirnya rada gila: Lorena. Bus lain butuh 5 jm, Lorena hanya 3,5 jam saja. Begitu bus berada di luar kota, entah dari Bandung atau Jakarta, bus kehilangan remnya. Duh…. Sopir hanya menginjaknya sekali, ketika mau belok ke restoran padang Pagi-Sore di kawasan Cipanas, Puncak. Sreeet… Hanya butuh waktu dua puluh tiga menit buat istirahat makan di restoran padang itu. Bus pun melanjutkan perjalanan dengan damai. Tenang untuk seperokoan. Setelah itu, ya wuuuushhh… Rem diinjak untuk kedua kalinya ketika memasuki kawasan kota. Pilihan untuk mendapatkan sepeda motor jadi lumayan masuk akal. Atau akal-akalan. Sama saja kan? Bagimanapun, saya pernah sekali digonceng Bang Tiri naik motor anyarnya itu dari Bandung ke Jakarta. Dan saya diantar sampai depan pintu rumah. Alhamdulillah… Tanggal 25 Agustus 1985. Malam itu Ellyas Pical petinju kebanggaan kita merangsek mengalahkan petinju Australia, Wayne Mulholland: mempertahankan gelar sebagai juara IBF kelas bantam yunior. Horeee… Malam itu juga Honda Astrea Bang Tiri ditilep maling. Pas kita bersama-sama bersorak-sorak menyemangati Ellyas Pical melalui TV. Astaghfirullah… (Belakangan Bang Sat dengan kesadarannya sendiri membayar semua kenakalan ini dengan biaya tunai puluhan atau bahkan ratusan kali lipat!) Sepeda motor sudah lenyap. Laporan ke Polisi buat apa juga dibuat. Padahal, Satiri terpaksa harus lebih sering ke Bandung untuk mengerjakan tugas akhir. Skripsi. Selain itu, kita mulai belajar bahasa pemrograman komputer: Basic, Fortran dan juga Pascal. Saat sedang asik-asiknya belajar bahasa Pascal, lahirlah putrinya yang kedua, dan langsung ia beri nama dengan embel-embel “Fiska Pascali”. Another amazingly beautiful name! Waktu mencatatkan nama anaknya di kelurahan, bertanyalah si petugas yang juga orang Betawi: “Ini anak elo namanya apaan, PAS LAKI?” (What is this your daughter name? PAS LAKI = fit for men?) “Ampun bang… itu bacanya pas-ca-li… Sini aye yang nulis dah ya…”. (OMG. You have to read it as Pas-ca-li. Let me write it for you…). Dasar Betawi! Selesai dengan urusan aneh itu., dia segera balik ke Bandung, mengerjakan tugas akhir. Apa tugas akhir yang bisa cepat lulus? Bikin alat! Tugas akhir ini kalau kita terpeleset maka akan menjadi tugas tanpa akhir! Ada seorang sobat yang semua mata kuliah bisa diselesaikannya dalam empat tahun, namun dia butuh tambahan 5 tahun lagi untuk menyelesaikan tugas ‘tanpa’ akhirnya itu. Lulus juga dia… Ada juga sahabat yang lain, yang mengerjakan desain tugas akhir dengan berkutat sendirian di rumah selama tiga bulan penuh. Namun ketika dia menemui pembimbingnya, sang profesor mengatakan dengan entengnya bahwa topik itu sudah ada orang lain yang mengerjakannya. Langsung deh sobatku yang satu ini memutuskan untuk tidak perlu lulus dari ITB. Antik. Tapi kemudian hidupnya berhasil dan sejahtera. Satiri membuat alat untuk mendeteksi level ketinggian cairan di dalam tabung tertutup. Kalau sekarang, alat seperti tinggal kita beli saja di toko bangunan atau toko elektronika. Ya, ‘ELEKTRONIKA’. Masih ingat kan salah satu magic words yang ia tanyakan kepada Bang Ipul, gurunya yang pertama? Malaikat dan Tuhan tidak pernah salah dalam mencatat. Kata-kata itu adalah doa! *** Pada saat itu hubungan Bang Tiri dengan mertuanya sudah berbeda 180 derajat. Balik arah, menjadi menantu kesayangan. Satiri tidak pernah melakukan perlawanan, dia hanya bertahan dan menunjukkan kasih sayang dan tekad kuatnya membangun masa depan. Babanya Fitria pun menjadi paham arti menjadi mahasiswa ITB. Terlebih-lebih ketika Kelvy Safira lahir. Bayi mungil cantik alang kepalang, melebihi ibu-bapaknya, dan selalu tersenyum. Cobalah bayangkan, kakek atau nenek mana yang tidak akan luluh melihatnya? Terkadang kita terlalu takut dalam menentukan pilihan hidup. Padahal kita sudah hafal bahwa di balik setiap kesulitian pasti ada kemudahan. *** Ketika hampir menyelesaikan tugas akhirnya itu, di suatu musim hujan yang dingin Satiri bertanya kepada saya: “Ren, ini ada tawaran untuk jadi dosen di Universitas Brawijaya (UB) Malang, menurutmu bagaimana?” Saya terpukau juga atas pertanyaan itu. Sebab, yang saya kerjakan saat itu masih jauh dari tugas akhir. Saya masih berjuang untuk lulus beberapa mata pelajaran tahun ke-3! Tapi mungkin Satiri menghargai pilihan saya untuk lebih aktif di kegiatan sosial dan budaya, daripada belajar Fisika. Karena sejuknya hujan, saya pun bisa berpikir cukup bagus sehingga tahu arah pertanyaan dia. “Aku kira bagus juga jadi dosen. Bisa dikirim kuliah ke luar negeri, dan juga tetap bisa mengerjakan proyek-proyek di swasta. Bisa lah jadi orang kaya. Kesempatan bagus, ambil saja.” “Iya sih… Ini kalau kita ambil, kita akan segera dikursuskan bahasa Inggris enam bulan di Kampus, dikasih uang saku juga. Dan, katanya akan langsung dikirim ke Australia?” AUSTRALIA? Anda tentu ingat, itu kan salah satu dari kata-kata ajaib yang ia tanyakan kepada Mas Paijo, gurunya yang kedua? Wah, kejadian ini… Walaupun Satiri kurang yakin jadi dosen akan bikin kaya, kesempatan itu diambilnya juga. Ternyata dari Fisika ada dua orang yang ikut program calon dosen UB ini. Kursus sudah dimulai walaupun mereka belum dinyatakan lulus dan diwisuda. (Sobat yang bersamanya itu belakangan malah menjadi profesor kenamaan di universitas ternama di Sulawesi, kampung halamannya) Suatu ketika, di jeda kursus, mereka berdua diminta datang ke Rektorat UB. Di sana sudah menunggu 20 orang dosen senior, dan rapat pun dibuka oleh Pak Rektor. “Bapak-bapak dosen senior yang saya hormati, kita akan segera mendapat tambahan dua orang dosen baru, macan-macan dari kampus ITB. Ini saya perkenalkan mereka…” “Ya ampun, macaaan… tambah gede dah kepala gua”, pikir Satiri. (“Gosh. I guess my head is getting bigger…”) Betulkah ‘elektronika’ membawa Satiri ke ‘Australia’? (BERSAMBUNG) RADA PANJANG YA GUYS? BESOK SAYA MAU LIBUR DULU YA... ---------- Disc: Ini hanya cerita, walaupun berdasarkan kejadian nyata. Ackn.: Terima kasih buat yang sudah menambahkan info seputar Satiri melalui komen dan japri. From people for people. Foto: “Bang Ben dan Satiri, dua pahlawanku dari Betawi”. Sumber: Internet. SATIRI SAHABATKU PAHLAWAN BETAWI (11) SATIRI SAHABATKU PAHLAWAN BETAWI (11) . . Sejujurnya tidak ada yang begitu menarik di ITB bagi Satiri selain Fisika. Itupun perhatiannya harus ia bagi dengan anak-istrinya. Padahal, di tahun 80an itu seingat saya terdaftar 83 unit kegiatan di ITB. Antara lain: Angklung, Bridge, Grup Apresiasi Sastra, Student English Forum, Phi Sigma Mu, Pramuka, dan Studi Teater Mahasiswa. Semua jenis olah raga dan bela diri, dan bahkan Rugby juga ada. Seni daerah lumayan lengkap, ada Lingkung Seni Sunda, Maha Gotra Ganesha (Bali), Karawitan Jawa, dan UKM Minang. Di sini mahasiswa Sujiwo Tejo, yang kemudian memilih menjadi seniman dari pada jadi tukang insinyur, melahirkan Ludruk ITB pada tahun 1984. Di sini juga ada PSIK menjadi think tank pergerakan mahasiswa di bawah KM dan DM ITB, yang belakangan hari dengan berat hati berubah menjadi KPM ITB. Kegiatan-kegiatan itu bisa membuat anda tersesat, atau mungkin sebaliknya membuat anda menjadi manusia. Maka, Satiri tidak ada di sana. Dia ada di Rawa Belong. Jadi, selain kuliah apalagi yang menarik bagi Satiri? Cuma dua: Dangdut dan film India. Kalau kita sedang di rumah Boy di Gardu Jati, itu kesempatan untuk nonton film India di bioskop “Taman Riang”. Anda yang orang Bandung tahu bioskop itu dimana? Ya, tepat di seberang Stasiun Hall (Cion, cion, cioon…). Ini bioskop yang kita boleh masuk dan keluar kapan saya. Kalau jagoannya muncul semua penonton pukul-pukul bangku yang terbuat dari kaleng. Ribut. Banyak bangku yang rusak, banyak bangsat dan tumbila serta kecoa… Hahahah… Saya pernah ikut nonton. Film India itu biasanya tiga jam, bertele-tele. Membuai saya untuk lelap tertidur, dan membuai Satiri untuk tetap konsen. Setelah nonton, kalau Boy lagi punya uang kita diajak makan di restorannya si Uni di St. Hall itu. Lamak banaa… (Prof FPZ dan Uda S yang sekarang bekerja di IAEA, Austria, tidak mampu untuk melupakan warung Padang kecil itu) Pernah juga kita ajak Satiri nonton film barat “Terms of Endearment” di bioskop Kings, alun-alun. (Tahun 70, 80 dan 90an adalah tahun-tahun emas bisnis bioskop. Terutama di Bandung, yang rakyatnya gila nonton. Setelah periode itu semuanya digulung monopoli 21). Film peraih 5 Oscar itu dibintangi oleh Debra Winger, Shirley MacLaine dan Jack Nicholson. Di akhir film, Satiri cuma bilang: “Happy ending-nya sedih euy…” Huahahahah… Hal-hal sepele begini, dan terutama seringnya kita lapar berjamaah, adalah hal-hal esensial yang menghubungkan umat manusia. . *** Pagi itu Satiri melewati "Dinding Ratapan Fisika" dari arah perpustakaan menuju Ruang TU dan R.1201 (Lab. Bosscha). Ya, betul, inilah dinding tempat meratap kedua setelah the Wailing Wall (Ha’it Al-Buraq atau the Kotel) yang ada di Kotatua Yerusalem itu. Di sinilah tempat untuk menghempaskan kesombongan “Putera-puteri Terbaik Indonesia” (begitulah bunyi spanduk yang terpampang di avenue kampus Ganesha menyambut kita masuk ITB). Yang dulu juara SMA, juara se-kabupaten, atau bahkan juara se-propinsi, untuk pertama kali dalam hidupnya mendapati namanya ditempeli nilai 40 atau lebih rendah di dinding ini. Melihat pengumuman nilai di Dinding Ratapan ini, tidak sedikit mahasiswa yang melengos, berjalan gontai menunduk, nanar, menatapi ubin kotak-kotak kecil warna kuning. Pening. Nyaris pingsan. Seraya menelan kesombongannya. Hari itu belum lagi musim ujian. Hanya ada satu pengumuman yang selintas dilirik Satiri: Tulisan berwarna biru dengan huruf S di depannya. Angin pagi yang segar membawa dua orang pakar dari Schumberger ke departemen Fisika: Pamer teknologi, pamer ilmu, plus mencari bibit unggul yang mau dijadikan kuli perusahaan. Acara itu nama kerennya open house: Yang ada di pengumuman itu. Mau ikut kursus atau open house? Take it or leave it? Sama persis polanya ketika dia harus memilih untuk menikahi Fitria pada saat itu juga, atau melupakannya selama-lamanya. Maka Satiri memilih ikut rangkaian acara open house. Terpukaulah dia dengan presentasi bule-bule itu tentang bagaimana alat-alat canggih sistem wireline mereka untuk membuktikan banyak atau sedikitnya kandungan minyak di dalam perut bumi. (MINYAK? Anda tentu ingat yang ditanyakan Satiri kecil kepada Bang Ipul, gurunya yang pertama). Ck, ck, ck, ck… Fantastic man! Siapa pula yang tidak kenal raksasa seperti Schlumberger wireline? Antara sekilas dan sekejap Satiri masih sadar bahwa dia terikat kontrak untuk kursus bahasa Inggris, kuliah S2 dan S3 di Australia, dan menjadi dosen UB. Kontrak yang juga ditandatangani Kepada Departemen Fisika, Pak LH. Siapa tak kenal ilmuwan kaliber internasional bidang Fisika Bumi ini? Usai presentasi, diadakan walk-in interview. Hebat nian muslihat mereka ini… Tanpa sepenuhnya sadar, karena sudah mendapat mantra, guna-guna dan pesona, kaki Satiri menarik-nariknya masuk ke ruang wawancara. Kalau alam sadarnya sedang bekerja, manusia normal, tentu saja saat ini dia sedang berada di ruang kursus bahasa. Masuklah dia ke sana. Dan ditanya: “Ada suatu kolam teratai. Hari pertama bunganya hanya ada satu. Hari kedua bunganya menjadi dua. Hari ketiga bunganya 4. Hari keempat bunganya 8, dst. Hari ke 100 kolam itu penuh bunga. Oke. Sekarang, kalau hari pertama bunganya sudah ada dua, pada hari keberapa kolam itu penuh bunga?” Yaaah, tiga detik Satiri terpukau.. Ini koq pertanyaannya begini? Serius, bukan Fisika atau elektronika? Tapi dia toh tertap harus menjawab. Setelah berpikir 13 detik, dia menjawab: “X”. “Okay very good. Now, my second question: Ini ada baterai 1,5 volt. Bagian positifnya kita sambung dengan resistor 100 ohm. Kalau di ujung lain resistor itu kita pasang voltmeter dengan ujung negatif dari baterai, berapa angka yang akan ditunjukkan voltmeter?” Nah, ini baru elektronika. Baiklah… “Y”, kata satiri dengan mantap dalam sekejap. “Excellent. Kamu boleh segera bekerja di Slb!” Hah, hanya njawab dua pertanyaan saja? Gila ini perusahaan. Betul apa? “Ya, betul,” kata si bule seolah mampu membaca pikiran Satiri. “Kamu isi form ini, nanti tunggu surat panggilan dari kami. Selamat yah…” katanya sambil mengulurkan tangannya mengajak berjabat tangan. Walaupun Satiri anak kampung, dia juga tahu bahwa berjabatan tangan itu kontrak yang disaksikan Tuhan. Dia jadi ragu, bagaimana dengan kursus bahasa dan kontraknya UB? Tapi tangannya maju duluan sebelum pikirannya menyelesaikan pertanyaannya itu. Take it or leave it man! Diapun berjabatan tangan. Sama girangnya saat pertama kali menjabat tangan mertua: Penuh kemenangan! Keluar dari ruangan itu dia jijingkrakan, girang alang-kepalang. Diberi selamat teman-teman, di depan Dinding Ratapan. Walaupun sudah telat, ia tetap berjalan menuju ke lab bahasa. Sambil berpikir-pikir santai: Kalau kerja di Slb pasti langsung jadi orang kaya. Bosen kan selama ini jadi orang miskin? Kalau jadi dosen, jadi “Oemar Bakri” kata Iwan Fals, pasti banyak amal, masuk surga. Tapi butuh waktu rada lama untuk jadi orang kaya. Kalau masuk Slb, pasti menyalahi kontrak dan menyakiti UB dan terutama Ketua Departemen, Pak LH. Lah, siapa suruh mereka sakit hati? Beres. Urusan sepele begini tidak perlu lah merepotkan Tuhan. Tuhan, koq diminta memecahkan urusan sepele? Betul saja. Ketika Pak LH tahu Satiri diterima di Slb, muntab lah beliau. Kantor cabang Slb di Jakarta langsung ditelfon, memberitahu bahwa Satiri sudah ada kontrak dengan UB; dan, “…dia itu sudah punya anak-istri!” ujarnya. Pak LH tentu jangan disalahkan. Mempan? Jadi bagaimana mimpi ke Australia yang sudah di depan mata? (BERSAMBUNG) ---------- QUIZ: Berapa X, dan berapa Y? Jika anda non-eksakta, cukup jawab berapa X? Jika anda bisa menjawabnya sendiri, maka seharusnya anda bisa berkarir di perusahaan besar manapun di dunia! Oia gaes, mungkin besok saya cuti lagi ya… Sungguh mohon maaf. Setiap Senin dan Rabu dua bulan ke depan ini saya lagi ada flagship job eey… I'll do my best anyway... Disc: Ini hanya cerita, walaupun berdasarkan kejadian nyata. Ackn.: Terima kasih buat yang sudah menambahkan info seputar Satiri melalui komen dan japri. From people for people. Foto: “Satiri panitia OS 1982 seksi kesenian; dan Widya Lestari Fi’81 peserta OS” (Maaf, baru dapat hari ini gaes…) Sumber: Koleksi keluarga Kelvy Safira dan Fitria Clara Zora SATIRI SAHABATKU PAHLAWAN BETAWI (12) . . Puncak kebahagian baba, ibunda “ii”, istri tercinta Satiri, dan juga adik-adiknya adalah ketika akhirnya ia diwisuda. Jadi insinyur! Itu adalah gelar yang ia pilih untuk dirinya. Koq bisa milih? Hingga pertengahan 80an, ijazah ITB memang hanya menuliskan kata “Sarjana”. Jadi, ya suka-sukamu lah… Saat itu umumnya lulusan MIPA, termasuk Fisika, menggunakan gelar ‘Drs’ atau ‘Dra’; dan lulusan dari fakultas teknik memakai label ‘Ir’. Dan, waktu itu di ITB juga ada ijazah “Sarjana Muda”. Anda tahulah, kita itu mengadopsi konsep Londo: Doktorandus (artinya kandidat Doktor) dan Insinyur adalah S2. Tetapi Satiri gagal berangkat ke Australia untuk melanjutkan studi pasca sarjana sebagai calon dosen UB. Ya, ia dinyatakan gagal! Padahal, sebelum dia mangambil program UB saya mengatakan kepadanya bahwa dia sangat berbakat untuk menjadi dosen. Kita tahulah dia itu orang panggung, dan sesungguhnya kelas itu ya panggung juga. Banyak fakta menunjukkan keberhasilan pendidikan lebih banyak dari guru yang menguasai pangggung kelas walaupun ia tidak sangat cerdas, jika dibandingkan dengan guru jenius tetapi sangat kaku di ruang kelas. Apalagi Satiri itu jenius. Anda bisa bayangkan betapa hebat murid-muridnya kelak. Apa daya, cerita beralih ke jalan yang berbeda. “Alhamdulillah…”, begitulah dia memeluk istrinya ketika dia kembali dari kantor pusat Schlumberger di Jakarta. Penandatanganan kontrak kerja. Pekerjaannya seperti apa, itu urusan nanti saja. “Jadi juga kita jadi orang kayaaaaa…” teriaknya. Dalam hati. Jauh hari kemudian saya baru memahami bahwa pekerjaan wireline, di Slb maupun di perusahaan sejenis lainnya, memang membutuhkan otak, tetapi juga otot. Lokasi pekerjaannya di sekitar lobang bor area yang diperkirakan mengandung minyak. Ya, kebanyakan hutan belantara atau bahkan di lepas pantai. Pekerjaan dimulai dengan memanggul peralatan, menarik-narik kabel dan menyusun modul. Ketika modul siap terhubung dengan komputer dan ruang kendali, mereka disisipkan ke lubang bor. Kalau itu sudah dimulai, maka pekerjaan tidak dapat dihentikan hingga dinilai selesai. Dan, itu bisa membutuhkan lima-hari-empat-malam. Pol harus tetap berjaga untuk setiap troble-shooting apapun. Jangan harap ada bantuan. You are all on your own! Bayarannya? Sehari kerja melebihi gaji bulanan seorang dosen. Sepadan kan? Mana ada orang pintar yang mau juga jadi kuli di hutan belantara. Set peralatan pun harganya jutaan dollar. Tapi sebelum mampu melakukan pekerjaan spesifik seperti itu, tentu saja Satiri juga harus ikut pelatihan. Itu termasuk dasar ilmu kebumian dan perminyakan, elektronika dan instrumentasi, serta pemrosesan data. Di mana ia dikirim untuk mempelajari ilmu dasar itu? Di pusat pelatihan Slb Perth, AUSTRALIA! (Skenario mana saja hasilnya sama: Ke Australia!) Bagaimana dengan statusnya yang sudah berkeluarga? Buat manajemen Slb, Satiri sudah menandatangani kontrak bahwa selama empat tahun pertama penempatan kerja di Slb tidak diperkenankan untuk berkeluarga. Itu artinya empat tahun setelah training. Empat tahun untuk dijadikan kuli di lapangan minyak. Bahaya bawa perempuan ke lapangan kan? Itu cuma alasan perusahaan cerdas menggaet kuli cerdas. Bagi perusahaan, yang penting semua ada di Kontrak. Tidak sedikit kasus bahwa kertas menjadi jauh lebih penting dari fakta. Again, you have to take itu, or leave it! *** Satiri selalu teringat pada pandangan penuh harap dari mata ibunda dan adik-adiknya kala ia berumur sebelas, berjibaku mencari dan menjual kembang, dengan naik sepeda di kolong batangan. Dalam rongga batinnya, itulah dian yang tak akan pernah berhenti bercahaya. Konon, Satiri meminta orang tuanya untuk memberi nama “Dian” pada adik bungsunya, yang lahir ketika dia di SMA. Anak Betawi koq namanya Dian? Hahaha… Mungkin ini tanda-tanda kemajuan. Dalam penerbangan perdananya ke Perth, ia bermimpi bahwa ia akan dengan leluasa membiayai adik-adiknya sekolah, setinggi-tingginya. Orang Betawi harus sekolah tinggi! Benar saja, semua adik-adiknya akhirnya mampu untuk mengecap pendidikan tinggi. Satiri yang membiayai mereka. Dua di antaranya bahkan lulus dari Departemen Fisika ITB! Jadi, tiga dari enam anak baba-ibundanya yang hanya mengecap beberapa tahun sekolah rendah itu lulus dari perguruan ternama. Salah seorang adiknya, Maing, bahkan menyelsaikan PhD dalam bidang teknik nuklir di ITB-nya di Jepang, Titech! Bang Maing bahkan sudah bekerja sekitar satu dekade ini buat Badan Tenaga Atom Internasioal (IAEA) yang bermarkas di Wina, dalam rangka menjaga perdamaian dunia dari senjata nuklir. Ini mungkin yang katanya lompatan kuantum (quantum leap)! *** Tidak salah jika Satiri memilih untuk segera menjadi orang kaya. Sebab, kemiskinan itu dapat menjauhkan orang dari Kebaikan. Tetapi kaya itu juga bukanlah banyak harta. Kaya adalah kekayaan jiwa. Artinya? Artinya, di sepanjang hidupnya Satiri memilih untuk terutama membela keluarga. Begitu kan yang diinginkan Tuhan? Dimulai dari keluarga. Kalau bukan begitu, mengapa Satiri kecil bertanya tentang ‘minyak’, ‘elektronika’ dan ‘Australia’? Apakah Satiri juga akan pergi ke Rusia, seperti yang juga ditanyakan pada gurunya yang kedua Pak Paijo? Tuhan punya rencana yang mungkin agak berbeda. Lebih dari setahun ia harus mengikuti kontrak pelatihan di Australia. Sempat juga ia beberapa kali kembali ke Rawa Belong, melepas kangen yang membuncah untuk segera memeluk kembali istri dan ketiga anaknya. Ya, seorang putranya lahir sebelum ia berangkat ke Australia! Kangennya belum lepas, ia dikirim kembali untuk pelatihan tingkat lanjutan di Montrouge, Perancis, dan kemudian juga di Parma, Italia. Bukan ke Rusia. Di sana mungkin ada beruang merah yang menanti menerkamnya. Kita tentu tidak akan pernah tahu. Dalam penempatan pertama, Satiri mendapat tugas di Port Harcourt, Nigeria. Itu sebelas jam jalan darat ke arah Selatan ibukota Abuja. Jauh betul itu dari Rawa Belong. Tidak apa-apa asal jadi orang kaya! Itu arti dari sabar. Belum setahun, mucul kembali adatnya seperti ketika menghadap Pak Lesilolo, sang Legenda gurunya yang ketiga, Kepala SMAN XI Jakarta, sekolahnya. “Boss, bagaimana kalau saya membawa anak dan isteri saya?” Pintanya, tetapi tetap terdengar seperempat nada ditinggikan. Mengancam. “You…” Cuma itu yang keluar dari mulut bosnya yang terdiam beberapa saat. Boss tahu betul bahwa pekerjaan Satiri selalu sangat memuaskan. Ia juga orang yang periang. Bahkan belakangan di Seluruh Schlumberger ia lebih dikenal sebagai “Crazy Satiri”. Bagaimana tidak gila, dalam setiap pelatihan Satiri hampir selalu jadi juara pertama. Paling sial juara kedua. Teman-teman pelatihannya tahu betul bahwa Satiri tidak pernah belajar selain di ruang kelas. Setiap malam selama semua pelatihan itu ia hanya menggoda teman-temannya. Keluyuran, ‘klacar-klucur’, keluar masuk café, menikmati berbagai hidangan yang tidak pernah ia temukan di Rawa Belong. Yang teman-temannya tidak tahu adalah jam belajarnya di ruang kelas itu sudah jauh melebihi kuota belajarnya di ITB. Naah… “Gua cuma kalah sama si Joaquin Schneider, Ren” katanya kepadaku suatu ketika. “Itu orang Jerman kutu buku, enggak gaul. Siang malam kerjanya belajar doang. Sering gua kerjain dah pas praktikum… Hahahah…” Nah, sekarang boss mau bilang apa kalau Satiri mau bawa istri dan ketiga anak-anaknya? “Could you guarantee that it will not come back to me?” (“Kamu bisa jamin itu tidak akan merepotkan saya?”) “Yes. Definitely!” Jawaban standar, apapun akibatnya. “Hell, do it. But remember, we never talk about this, right?” (“Terserah kamu. Anggap saja kita tidak pernah membicarakannya yah…”) “Bodo amat. Emangnya gua pikirin,” sontak jawabnya dalam ekspresi Betawi. (“Hell, who care…”) “You what?” “Fcuk you!”jawabnya sambil kabur. Kuli-kuli Schlumberger membacanya sebagai “Yes, okay…” Siapa yang enggak bisa gila jauh dari istri hampir setahun? (BERSAMBUNG) Disc: Ini hanya cerita, walaupun berdasarkan kejadian nyata. Ackn.: Terima kasih buat yang sudah menambahkan info seputar Satiri melalui komen dan japri. From people for people. Foto: “Album pernikahan Satiri-Fitria” (Maaf, baru dapat ini gaes…) Sumber: Koleksi Kelvy Safira dan Fitria Clara Zora SATIRI SAHABATKU PAHLAWAN BETAWI (13) . . Perjalanan pulang ke Jakarta terasa sangat lama. Dan memang jauh dari Port Harcourt, Nigeria ke Rawa Belong, Indonesia. Apalagi kalau menanggung kerinduan. Daftar belanjanya sudah panjang: Beli rumah di Bintaro Puspita, beli baby benz boxer, dan ajak jalan-jalan orang tua dan anak istri ke Singapura, Jepang, dan California – lengkap dengan LA, Grand Canyon hingga San Diego. (Semua terbayar dengan masa pelatihan dan kerja setahun di Nigeria. Kalau jadi dosen di UB kapan sampainya?) Anda bayangkanlah berbagai keseruan baba dan ibunda “ii” jalan-jalan di negara antah berantah itu. “Kok enggak ada TVRI ya?” tanya ibundanya. Lepas jam 10 malam TV malah menyiarkan hal-hal yang ‘bukan-bukan’, bukan main... “Astaghfirullah…” ucap Babanya, sambil tutup mata sebelah. Sebentar saja. Ganti saluran. Sama juga! Matikan. “Ini hari ini, pokoknya gua mau makan gado-gado,” pinta babanya. Walaupun jalan-jalan itu menyenangkan, tetap rumah sendiri itu nomor satu. Buat Satiri, salah satu yang paling bikin kangen untuk pulang adalah, apalagi kalau bukan balas dendam untuk makan sayur asem dan ikan asin. Masakan pavorit keluarga, walaupun sekarang ditambah empal dan ayam goreng. Saya sendiri sangat beruntung dulu sekali sempat mencicipi "sayur masak asem" buatan ibunda 'ii'. Ini sejenis sayur asem betawi, dengan sedikit rada pedas tanpa diberi gula, dan bumbunya terlebih dahulu dimasak dengan kunyit, sehingga kuahnya berwarna kuning. Rasanya? Ni’meh! (beyond delicious; sugema kata orang Sunda)… Lidah, mata dan hati kita akan dibuat tenang, cool, and nothing to be worried of. Pada liburan pertamanya setelah training di Australia, yang paling diutamakannya adalah mengunjungi guru-gurunya: Bang Ipul, Pak Paijo, Pak Lesilolo, dan Jenderal O. Dia tidak pernah melupakan mereka. Semua ia kunjungi satu per satu bersama semua anak-istrinya dan dengan buah tangan yang serba mewah. Pulang dari rumah mereka, ia merasa bahwa semua upayanya itu tidak sepadan dengan binar-binar kebahagiaan di mata mereka. Ia bertekad untuk berbuat lebih banyak! Satiri juga tidak pernah dapat melupakan perbuatannya memanfaatkan kuitansi tukang sayur dan cap himpunan mahasiswa (Himafi). Bagaimana aku harus membalasnya? Baiklah. Ia meminta bantuan adik lelakinya yang pertama, Syahrul, untuk mengadakan wisata ke Bandung bagi siapa saja warga Jl. Salam, Rawa Belong, yang mau ikut. Wisata dua hari satu malam ke Lembang, Tangkuban Perahu dan mampir ke ITB. Gratis. Apa yang terjadi? Terkumpul sekitar 200 orang dewasa dan anak-anak yang mau ikut berwisata. “Bagaimana ini bang, banyak betul yang mau ikut?” tanya Syahrul kepada abangnya. “Lu telpon Blue Bird, sewa 5 bus, dan pesan 100 kamar di Hotel Panghegar yah?” “Panghegar? Ntu kan hotel paling mahal di Bandung?” “Biarin ajah. Duitnya ada…” (Saya terus terang sangat dekat dengan Syahrul. Berbeda dengan Satiri yang very high profile, Syahrul itu sangat polos dan jujur, mahasiswa IKJ dan guru kesenian di SMP. Kami berdua tidak pernah bosan mendiskusikan tentang Seni dan Sastra. Sayang, dia sudah mendahului kita sekitar akhir 80an. Al Fatihah untuk Bang Syahrul...) Nah, kebayang kan berapa dana yang ia habiskan? Tidak ada yang bisa membantah bahwa pada acara ini Satiri mau pamer. Tapi anda juga bisa memandangnya dengan cara yang berbeda. Dia ingin menunjukkan bahwa apapun bisa dilakukan oleh orang Betawi, sama dengan orang-orang lainnya, asalkan kita mau berusaha dan berpikir keras! Selebihnya, mengajak orang kampung Rawa Belong melihat kampung orang itu juga bagus. Dan pastinya perjalanan itu inspiratif bagi anak-anak remaja. Anda mau dan berani melakukan hal semacam itu? Yang juga rada gila adalah kelakuannya pas mampir ke kampus pada liburan kali itu. Satiri dan keluarga tentu naik Mercedesnya. Yang lainnya cukuplah naik bus blue bird, bus wisata terbaik saat itu. Baby benz boxer masuk ke parkiran kecil di samping Himafi, belakangnya Ruang 1201, Lab Bosscha yang legendaris itu. Pas Satiri keluar dari mobil, entah bagaimana keluarlah Pak Dosen S, yang terkenal paling “killer” dan rada-rada enggak jelas. “Ini Satiri ya… Waah hebat kamu sudah jadi orang kaya ya?” “Iya Pak, saya sudah jadi orang kaya..” katanya mantap seraya memamerkan jam Rolex hitamnya. “Gara-gara Fismat Pak…!” Hahahah... Itu pelajaran Fismat yang diampu Dosen S banyak menelan korban. Beberapa mahasiswa DO karena tidak lulus-lulus di pelajaran itu. Ada juga yang harus mengambilnya 5 kali untuk bisa sekedar lulus dapat nilai D. Naah… . . *** Pas liburan tiga bulan! Satiri memboyong istri dan anaknya ke Nigeria. Rumah kontrakan di Nigeria cukup besar dan sudah ada telfon. Ingat bahwa status Satiri di perusahaan adalah bujangan! Jadi, kalau Satiri tidak di rumah. Telfon tidak boleh diangkat. Kalau Satiri yang menelfon? Ada kodenya: Telfon dibiarkan berdering tiga kali, langsung dimatikan, dan ditelfon kembali. Yah, kucing-kucingan… Itu hanya untuk menyaring telefon dari Shlumberger Eropa. Tetapi boss dan semua rekan kerjanya juga tahu dia sudah berkeluarga. Pekerjaan wireline itu lama-lama membosankan buat Satiri. Tantangannya sekedar teknis printal-printil di lapangan. Tidak ada hal besar yang mencengangkan seperti waktu dia berkenalan dengan Fisika Statistik. Fenomena alam yang semuanya selama ini dianggap serba pasti, deterministik, koq dibahas pakai statistik? Orang bisa jijingkrakan ketika di pelajaran ini paham arti delta Dirac, bahwa nol dikali bilangan tak hingga sama dengan satu! Ada sisir Dirac, ada boson, dan ada distribusi Bose-Einstein. Sedapnya… Tapi wireline duitnya sedap jugalah… Untuk menghilangkan kebosanan di kampung Fort Harcourt Nigeria itu, Satiri dan istrinya banyak bermain gitar menanyi bersama. Fitria pandai ngaji, ya pandai nyanyi jugalah. Lagu-lagu Dangdut maupun lagu-lagu Barat. Akhirnya mereka menyanyi bersama di acara-acara family gathering perusahaan. Ditampilkan lagu dangdut berpasangan yang segera memukau semua orang. Lagu “Malam Terakhir”: Malam ini malam terakhir bagi kita Untuk mencurahkan rasa rindu di dada Esok aku akan pergi lama kembali Kuharapkan agar engkau sabar menanti Esok aku akan pergi lama kembali Kuharapkan agar engkau sabar menanti Aku akan sabar menantimu kembali Selamat jalan dan sampai berjumpa lagi Esok kita akan berpisah Tentu hari-hari 'kan jadi sunyi Esok kita akan berpisah Tentu hati akan rindu sekali Semakin lama kita berpisah Semakin mesra kita berjumpa Malam ini malam terakhir bagi kita Untuk mencurahkan rasa rindu di dada Kita akan berjumpa di saat bahagia Di saat malam pesta perkawinan kita Mengapa, mengapa hatiku berdebar-debar. Seakan-akan ku ragu Untuk merelakan kepergianmu, kasih Mengapa, mengapa hatiku berkata-kata. Seakan-akan berbisik Bahwa kita tidak akan berjumpa lagi Kepergianku hanya untuk kembali Kita berpisah untuk berjumpa lagi . . Yang enggak ngerti dangdut, yang enggak ngerti bahasa Indonesia, semua ikut berjoged Dangdut. Senaaang… Satiri sudah memperkenalkan Dangdut kepada dunia. Belakangan semua acara gathering Schlumberger ditunda jika Saitiri sedang tugas ke lapangan! Demikian juga dengan semua acara pertetanggaan. (Beberapa hari lalu Fitria menyampaikan kepada saya bahwa di hari-hari sebelumnya beberapa keluarga Schlumberger Nigeria menghubunginya untuk menyampaikan belasungkawa dan menegaskan persaudaraan mereka) Hidup itu, ya bagaimana kita menikmatinya dan untuk menjadi berarti. . . *** Kerja wireline di Nigeria sudah nyaris empat tahun, bagaimanapun juga itu adalah tempat antah-berantah. Apa akal? “Boss, lubang-lubang bor di Indonesia itu memanggil-manggil saya…” katanya membuka tawaran. Sekaligus ancaman. Sementara orang lain dag-dig-dug apa kontraknya akan diperpanjang, dia malah bikin pre-emptive strike: Serangan dadakan sebelum musuh menyerang! “Are you crazy or what?” “It is my name. You know it...” “Satiri, kemarin sore saya baru saja dapat berita dari Pusat bahwa kamu akan ditempatkan ke Argentina. Saya sedang mikir-mikir bagaimana akan menyampaikannya ke kamu...” kata bosnya separuh menyerah. “Then, forget about it…” Yang mereka berdua sama-sama tahu dan tidak membicarakannya adalah bahwa toko sebelah (Halliburton, Baker and Hughes, dll) juga beredar di Indonesia. “Okay. Get out…” kata bossnya nyerah benaran. (BERSAMBUNG) ---------- ---------- Disc: Ini hanya cerita, walaupun berdasarkan kejadian nyata. Ackn.: Terima kasih buat yang sudah menambahkan info seputar Satiri melalui komen dan japri. From people for people. Foto: “The Crazy Satiri of Schlumberger Nigeria” Sumber: Koleksi Kelvy Safira dan Fitria Clara Zora SATIRI SAHABATKU PAHLAWAN BETAWI (14) . . Bukannya ke Argentina, Satiri malah naik jabatan dari Senior Field Engineer (atasannya tukang di lapangan) mejadi Engineer in Charge (mandor) di Prabumulih, Palembang. Enak banyak duren dan duku. Kliennya juga Cuma satu: Pertamina. Di sini untuk pertama kali dia belajar bagaimana kata ‘cingcai’ bekerja: Dua tambah dua boleh berapa saja, isi sendiri, sekenyangnya dan ‘sepantasnya’. Dengan jabatan mandor, dia mulai diminta menjadi instruktur. Di ruang kelas dan praktikum di fasilitas Schlumberger, Medan. Ini peran pertamanya menjadi guru. Baginya menarik juga melihat anak-anak antusias belajar. Walaupun ya biasalah jahil-nya tidak berkurang. Dia sering mengerjai mereka supaya kelas menjadi segar dan peserta tahu betul masalah di lapangan. Dia mulai bosan, dan isengnya kambuh. Dia minta jabatannya naik lagi. Dikasih juga. Tiga tahun di Prabumulih, dia dinaikan menjadi Field Service Manager (atasannya mandor) di Jambi. Kali ini kliennya lebih banyak: Asamera, Santa Fe, dan Pertamina. Gaji naik, tanggung jawab tambah banyak. Pekerjaan lobby tak ada henti. Anak-anaknya pun semakin besar, butuh sekolah dan mengenal keluarga. “Kita harus balik ke Jakarta,” itu keputusan yang dia sampaikan ke istrinya. Belum tiga tahun di Jambi, pindahlah dia ke Schlumberger Jakarta. Jabatan masih sama, kliennya kalai ini beda: BP dan ARCO. Di sanapun ia hanya bertahan sembilan bulan. Kebosanan sungguh musuh yang sukar dikalahkan. Dia membuthkan sesuatu yang berbeda untuk pikirannya, bukan lagi untuk kantungnya. “Gua mau berenti kerja. Bosen,” katanya kepada istinya. Anda tahulah budaya ‘orang lapangan’ yang penuh godaan, cobaan, dan gangguan. Apa ada yang 100% berhasil mengatasinya? “Ya terserah abang, kalau itu yang abang mau…” Istrinya yakin uang bukan masalah. Benar saja. Tengah Desember 1996, Schlumberger melepaskan dirinya dengan dua kopor uang pensiun. Tetapi ekornya tetap dipegangi. Januari 1997 dia mulia kuliah lagi. Sesuatu yang lumayan rada berbeda. “Sekolah yang nggak usah terlalu serius saja Ren, sambil nemenin anak-anak belajar” katanya suatu ketika kepadaku. Sesungguhnya sekolahnya itu lumayan ada nama, program MBA International Management di IPMI Jakarta, yang bekerjasama dengan Monash University, Australia. Walaupun tidak serius, dengan berbagai pengalamannya di lapangan dia lulus dengan predikat cum laude dalam setahun saja. Ternyata sekolah ini juga sungguh candaan belaka baginya. Dua bulan sebelum wisuda dia sudah diminta Schlumberger GeoQuest Jakarta untuk bergabung. Kali ini dia diminta untuk menjadi Sales Manager (tukang jualan). Kalau Satiri remaja asongannya kembang, kini asongannya software manajemen data. Kliennya Pertamina, BP MIGAS, VICO, LASMO, TFE dll. Serba keren, dan harus pakai jas. Sesuatu yang mulai ia biasakan. “Harga software enggak ada patokannya, Ren. Enak, suka-suka,” katanya kepadaku. Waktu itu Satiri dengan baby benz boxernya mampir ke kantorku, kator pusat urusan tenaga atom di bilangan Mampang. Parkir mobilnya berdampingan dengan mobil Dirjen yang sederhana. Kontras. Dalam obrolan itu Satiri kemudian menjelaskan beberapa pelajaran yang menurutnya berharga sebagai tukang jualan. Antara lain: Menemui klien atau calon klien: “Kita lebih baik nunggu satu jam, dari pada telat 5 menit.” Menemui pejabat: “Kita serius saja mendengarkan ocehannya. Tanggapi positif kalau memang dia nampak minta ditanggapi. Nanti kalau dia sudah capek dia juga nanya kita mau apa. Nah, itu artinya kupingnya sudah siap dia buka buat dagangan kita…” Menilai perusahaan: “Kalau gua digaji 100, itu artinya untung perusahaan minimal 1000…” Begitulah Satiri berdagang secara prestisius, dan elit. Sebab, tukang jualan GeoQuest juga hanya dua orang saja, hemat dan jelas targetnya. Tukang jualan yang satunya lagi adalah Bang SAS, Fisika ’76, seniornya. (Fisika itu sesungguhnya bisa jadi apa saja. Jadi menteri kesehatan juga bisa kan… Elon Musk juga anak Fisika. Buat anak Fisika jangan GR ya, anak SMA juga bisa jadi menteri!) “Sebagai pegawai Schlumberger internasional, gua di Jakarta ini dikasih tunjangan perumahan 3000$ sebulan. Kartu kredit tanpa batas dan semua rekening apapun dibayar perusahaan,” ujarnya merendah, eeh… “Dan, itu belum termasuk gaji…” “Tapi kartu kreditnya enggak pernah gua pake buat keluarga…” Rupanya dia masih teringat kuitansi tukang sayur dan cap Himafi. Hahaha… Baguslah. Jadi kartu kreditnya dipakai apa? Itu untuk beli tiket pp ke Huston, LA, Las Vegas, atau mana saja, biaya hotel, makan-makan, belanja-belanja buat para boss. Pengambil keputusan teknis maupun strategis di instansi yang berhubungan dengan kebijakan minyak. Apa aja boleh, asal tidak terbukti melawan hukum, dan dagangan laku. Ini jugalah yang menentukan harga BBM dan besarnya subsidi. Hmmm…. Siapa yang ditraktir bisnis itu? Sebagian besar ya teman-temannya kuliahnya jugalah. Hayo siapa yang ikut baca cerita ini dan pernah diongkosi Satiri? Hahahahah… . . *** Di puncak gunung tertinggi, anda tidak lagi menghadapi siapa-siapa. Anda hanya akan menghadapi diri anda sendiri. Mungkin begitulah salah satu yang ingin dikatakan Fariduddin Attar dalam “Musyawarah Burung” (Mantiqut Thair). Aku kira selain menghadapi dirinya, dia juga bertatapan dengan kebosanan. Tetapi lumayanlah dia bisa bertahan empat tahun di GeoQuest. Apa lagi sekarang? Terdengar lengkingan Barbra Streissand dan Donna Summer melantunkan “No More Tears” dengan nada-nada tinggi: “Enough is enouh. I can’t go on. I can’t go on…” Baiklah, mari kita menghadap Boss-nya yang bule. Kata Satiri, di level bossnya ini tidak ada orang selain yang bule. “Boss saya mau berhenti,” katanya tanpa basa-basi. “Apalagi sekarang, lu mau naik gaji berapa?” juga tanpa basa-basi. “I want to sit on your chair.” “Fcuk you!” kata boss-nya sambil menandatangani surat pengunduran diri Satiri. Mereka berdua bersalaman, berpelukan, tertawa bersama, dan bahkan saling mendoakan sebelum berpisah. . . *** “Bosen Ren, lihat kelakuan mereka,” katanya kepadaku. “Di industri minyak ini kan banyak banget bule-bule. Emangnya mereka juga ikut kongkalikong…” “Yaah, Reno, lu polos banget. Semua bule itu awalnya memang jujur. Enggak bakal lebih dari enam bulan, gua jamin, mereka mulai mumet. Terus ikutan deh sama kita-kita…” Dia kemudian bercerita pernah dilibatkan Pemerintah untuk memperbaiki kebijakan energi. Dengan polosnya ia menceritakan berbagai hal strategis yang seharusnya diambil Pemerintah dan berbagai efisiensi yang dapat dilakukan. “Hahahah…” Aku terpingkal-pingkal mendengarnya. Kaget dia mendengar aku tertawa. “Lah?” “Yang polos itu elu Bang,” kataku. “Koq bisa?” “Mereka tuh para pejabat enggak bodoh. Mereka hanya mau ngecek, orang-orang pintar kayak ente itu tahu enggak skenario korupsi yang sedang mereka rencanakan…” “Laah, suudzon dong…” “Kan abang sendiri yang bilang bahwa minyak itu waktu diambil dari perut bumi warnanya hitam gelap. Bisnisnya begitu juga kali yah…” Hahahah… Kami tertawa bersama sambil nyeruput kopi Kapal Api, kopi kebanggan, di kantin kecil belakang Gedung B. Itulah tawa kami bersama mengakhiri kariernya di minyak. Kata-kata ajaib masa kecilnya ‘elektronika, ‘minyak’, dan ‘Australia’ sudah terlaksana, walaupun ‘Rusia’ tentunya sudah diwakili sekurang-kurangnya oleh Nigeria, Prancis, Italia, Belanda dan Amerika. Apalagi yang akan ia lakukan? (BERSAMBUNG) MOHON MAAF karena berbagai kesibukan besok libur dulu yaa… ---------- ---------- Disc: Ini hanya cerita, walaupun berdasarkan kejadian nyata. Ackn.: Terima kasih buat yang sudah menambahkan info seputar Satiri melalui komen dan japri. From people for people. Foto: “Album Keluarga Sekembali dari Nigeria” Sumber: Koleksi Kelvy Safira dan Fitria Clara Zora. SATIRI SAHABATKU PAHLAWAN BETAWI (15) Mbak Karen, sobatnya, sebelum jadi boss perusahaan minyak negara, ikut membantu Satiri mendirikan perusahaan bersama beberapa teman lainnya: Usaha moving box dan telko yang masih di sekitar perminyakan. Kebetulan, saya pernah diminta membantu perusahaan ini membenahi dokumen HSE mereka untuk memenuhi syarat prakulaifikasi dalam merebut kontrak di Vico, dlsb. Dia hanya bisa bertahan tiga tahun di situ. Ada banyak intrik dan tipu daya. Dia terpental. Kekalahan besar, yang harus ia relakan sebagai ongkos belajar. “Tidak usah marah. Biar Tuhan saja yang membalasnya,” ujarnya kepada Istrinya. Dengan semua pahit-manisnya itu, kemudian dia bangkit. Membuat dua perusahaan sendiri di bidang IT Solution Provider. Semua dikerjakan sendiri, dan dibantu adiknya, Dian, yang memang menyukai pemrograman. Tiga tahun berjibaku cukuplah baginya untuk membenturkan kepala: bahwa order harus didapat dengan kongkalikong, sesuatu yang dia makin tidak suka. “Klien itu enggak mau dikasih produk bagus, Ren. Maunya murah, tapi side-kicknya besar..” Apalagi sekarang? Pada dasanya Satiri itu orang jujur. Dia banting setir ke arah yang yang tidak terduga-duga, jauh berbeda. Sisi yang sejak awal kukatakan kepadanya adalah misi yang harusnya dia emban. Dia teringat pengabdian yang tulus dan cerdas dari guru-gurunya. Dan binar-binar kebahagiaan di mata mereka kala mendapati muridnya yang berhasil. “Sekarang gua jadi dosen, Ren,” katanya mebuka percakapan setelah beberapa tahun tak berjumpa sejak aku membantunya dengan dokumen HSE. Aku terus terang terpukau. “Begitu yah?” “Iya Ren, di universitas kecil di Kebayoran Lama”. Obrolan itu terjadi sekitar tahun 2008. Aku teringat percakapan dengannya menjelang dia lulus dari ITB awal tahun 1986. Ketika dia ditawari jadi dosen UB, yang kemudian dia tolak untuk jatuh ke pangkuan Schlumberger. “Abang ingat kan dulu sebelum abang lulus aku bilang bahwa abang itu sangat berbakat jadi dosen? Mungkin memang sekarang waktunya yah…” “Iya begitu dah…” “Bang, universitas besar kan banyak. Mengapa ngajar di situ?” “Nyari duit beneran juga enggak sih…” katanya pelan. Dia bercerita bahwa dia hanya dibayar seharga sebungkus nasi Padang per jamnya. OMG. “Ren, mahasiswa di situ kebanyakan anak Betawi. Kalau gua enggak ikut ngajar ya siapa lagi?” Pandangan matanya nanar jauh di belakang punggungku. Mungkin dia sedang melihat binar-binar di mata Bang Ipul dan Pak Paijo! Di Kebayoran Lama memang masih banyak orang Betawi, dan Universitas itu kecil nyempil persis di sebelahnya Gandaria City: sebuah kompleks mall, hotel dan apartemen yang megah. Lagi-lagi kudapati kontras yang mencolok mata–setelah dulu baby benz boxernya diparkir di sebelah mobil dinas sederhana yang ditumpangi dirjen di kantorku yang lama. Satiri sedang dalam proses transformasi besar! Usia Satiri saat itu sudah mendekati 50. Anda berani melakukan perubahan besar begitu pada usia seperti itu? Benarlah, dia memang sedang tidak tertarik untuk mencari uang. Sebagai cadangan dana, selain dana pensiun yang mulai menipis, dia juga membuat beberapa usaha jasa cuci dan setrika pakaian yang sudah berjalan rada mapan. Di universitas kecil di Kebayoran Lama itu dia belajar jadi dosen. Dan dia belajar dengan cepat. Berceritalah dia bahwa dia diminta mengajar Matematika Dasar. Di sini, para mahasiswa yang sebagian besar sudah bekerja itu sungguh sangat mencengangkan. Bahkan masih ada yang memahami bahwa 2/3 + 3/4 = 5/7. Ealaah… Jadi, daripada mengejar target kurikulum, dia lebih memilih untuk mengajar prinsip-prinsip dasar matematika. Persamaan diferensial juga hanya disinggung sedikit sebagai persoalan untuk mengetahui besarnya perubahan, laju atau kecepatan. Integral, hanyalah disinggung bahwa itu adalah alat untuk menghitung nilai keseluruhan, luas atau volume. Contoh di papan tulis diambil yang paling simpel. Untuk yang rumit, ia menjelaskan cara menggunakan kalkulator internet, seperti integrals.com Naaah…. Lebih dari itu, dia berupaya mengajarkan perilaku yang baik saja. Anda tahu bahwa kompetensi seseorang memang dinilai dari pengetahuan, keahlian dan perilakunya. Buat apa pengetahuan dan keahlian yang luar biasa jika perilakunya buruk? Sebaliknya, bukti-bukti di lapangan menunjukkan bahwa karier seseorang akan melaju dengan baik jika perilakunya sangat bagus walaupun didukung dengan pengetahuan dan keahlian yang biasa-biasa saja. “Kalau anda datang di setiap kuliah saya,” katanya, “Saya akan kasih lulus, berapapun nilai ujianmu nanti!” Naah… “Koq bisa?” “Ya kita bikin hiburan deh di setiap pertemuan. Kasih contoh-contoh sederhana penerapan di kehidupan nyata. Gua jamin mereka enggak akan ngantuk…” Itulah kalau orang panggung dan punya pengalaman kerja terus jadi pengajar. Klop! Bukan hanya memindahkan isi buku ke kepala mahasiswa. Dia juga berdisiplin dengan waktu. Sekitar satu jam sebelum kuliah dia sudah sampai di kampus. Dia hanya ingin memberikan contoh. Waktunya banyak sekarang. Lalu apa lagi yang akan ia kerjakan? Karena banyak di rumah, hobby lama bermain musik jadi tersalurkan bersama istri dan anak-anaknya. Bahkan berkembang ke arah profesional. Pada sekitar tahun dua ribu belasan ini, dia bahkan melayani jasa organ tunggal bersama istri dan anaknya Reza Omo Satiri, yang belakangan sukses dengan grup band-nya sendiri. Lagu-lagu yang dibawakan macam-macam, bisa dangdut, pop dalam maupun luar negeri, apa saja yang diminta pemilik acara dan penonton. Sebagai biduan utama, Fitria pun tidak pernah canggung membawakannya. Semakin ia masuk ke industri hiburan ini, semakin ia bergaul dengan lebih banyak orang. Semakin membuatnya melihat dirinya ke dalam: Tetap ada yang terasa kurang! Bang Maing, adiknya, pernah menceritakan kepadaku bahwa Bang Tiri sempat ‘hilang’ tiga bulan penuh pada periode itu. Ia duduk menekuni 15 jilid Tafsir Al-Mishbah, karangan Prof Shihab. Teman, itu buku tebalnya total tidak kurang dari 75 cm. Dia menenggelamkan dirinya sebagaimana dulu dia belajar fisika ketika mau ujian. Satiri tetap mengajar di universitas kecil itu hingga sembilan tahun. Pada masa pengabdiannya itu, dia mengajakku untuk kuliah lagi, kuliah S3. Karena kita sama-sama masih S2. “Di mana dan belajar apa?” tanyaku. “Di UIN Ciputat, jurusan Ekonomi Syariah.” Alasannya, kampus itu dekat dengan rumah kami berdua, dan akreditasinya juga baik. Saya memang tinggal di Ciputat dan dia sekarang di Pamulang. “Kalau kita kuliah bersama kan ada semangat tambahan,” dia mencari teman. “Lagi pula Ekonomi Syariah itu sedang bangkit..” tambahnya. Tentu saja hal ini tidak bisa saya tolak. Saya terpukau cukup lama, dan sungguh-sungguh memikirkannya. Namun, dalam hal begini saya cenderung konservatif, mempertahankan prinsip bahwa regulator, pekerjaan saya, tidak membutuhkan S3. Anda tahulah bahwa sekolah super tinggi seperti itu hanya dibutuhkan oleh lembaga penelitian dan universitas. Saat itu saya segera sadar: Satiri sudah membuat keputusan mengenai akhir kariernya. Sebagai pendidik! “Okay, aku pikirkan dulu dana dan waktunya ya Bang…” Dia tahu aku hanya berbasa-basi. . *** Kepiawaian Satiri kecil mengaji dan kemampuan abstraksi fisikanya membuat ia mudah untuk memahami kitab suci di tingatan hakikat, bukan sekedar persyaratan hukum formal semata. Buat saya itu adalah state of the art, the end-state of a genius journey. Penguasaan panggung, vokal yang bagus, dan akhirnya dia memilih bahasa yang sangat sederhana yang mudah dipahami siapa saja, serta dengan kutipan Kitab yang sesekali saja. “Orang pastinya menginginkan ajaran yang bagus, ilmiah dan bermakna,” katanya suatu ketika seusai memberikan Khutbah Jumat di kantorku. Aku hanya bisa menatap dinding di belakang punggungnya. Mengingat kembali seorang Buya yang dihormati orang setanah air. Ketika agama memberikan kedamaian bagi semesta. Dengan kemampuan itu, pada pertengahan 2015 lalu ia menyelesaikan S3 di UIN hanya dalam dua tahun saja. Dan seperti biasa, hasilnya cum laude. Sebagian orang kini memanggilnya ustadz, sebagian Pak Dosen. Kepada teman-teman kuliah atau sobat gaul, ia lebih suka dipanggil Bang Tiri, dan bahkan BangSat. Untuk membuktikan keseriusan ilmu yang didapatnya, mulai 2016 dia menjadi ketua program Intenational Business Administration di universitas swasta pemula yang cukup bergengsi, International University Liaison Indonesia di kawasan Serpong. Sekolah garapan Ilham Habibie yang bekerjasama dengan universitas di Jerman. Saya tahu dia adalah tipe dosen yang disukai mahasiswa. Ganteng, pintar, humoris, namun memilih bahasa dan penampilan yang sederhana. Pasti di sini ada muridnya ikut membaca. Naah… Satiri juga terus menjadi ustadz. Di kompleks rumah saya pernah kami undang sebagai pemberi khotbah di hari raya. Semua menyukainya, bahkan Panitia menyebutnya sebagai Prof. Ya, dia diundang dimana-mana. Tanpa tarif, karena bukan itu juga yang ia harapkan. Walaupun dia tidak lagi memiliki harta sebanyak ia mau menangguknya di sungai penuh minyak. Itu dahulu. Tetapi sekarang wajahnya jauh lebih cerah. Dia bahagia. Apakah menjadi dosen dan ustadz membuatnya membatasi diri atau kurang gaul? Salah, ia malah aktif dimana-mana. Dia tetap ada di ORARI maupun RAPI, Bamus Betawi, Gerbang Betawi, Betawi Rawa Belong, Ikatan Penyanyi Musisi Indonesia (IPMI) Tangsel, dan bahkan di YNCI Tangsel, solidaritas pengendara sepeda motor. Sebagian ia ikut jadi pengurus, sebagian sebagai pembina. Dia ingin lebih banyak mengajarkan disiplin, mengajarkan cara berpikir yang benar, dan semuanya melalui contoh prestasi dan budi baik saja. Bukan lagi dengan kata-kata. Dan dia memilih semesta yang ia berpihak untuk mereka: Orang-orang di bawah, dan yang hampir menengah. Dia punya ruang belajar lebih besar, bukan sekedar ruang kelas atau rumah ibadah. Tiga Jum’at yang lalu, pada tanggal 25 Juni 2021 Tuhan memanggilnya. Dan ia sudah berdamai dengan semua yang dialaminya, dan semua yang disayanginya. Dia tetap menyandang predikat pengajar terbaik di universitasnya! . . EPILOG Di malam saya mendengar khabar kepergiannya, saya tidak malu-malu menangis di sebelah istri saya. Bercucuran air mata. Setelah puas, saya segera mengambil laptop. Menulis tentangnya selama dua malam berurut-turut hingga subuh. Dia telah menemani dan membuat saya mampu menuliskannya. Siapapun yang mengenal Satiri saya kira berkewajiban menuliskan biografinya semampu mereka. Dan menyebar-luaskannya. Sebab, Satiri adalah tentang perjuangan, cita-cita, kasih-sayang, keluarga, pendidikan dan kebaikan, serta kegembiraan hidup yang harus dihidupkan. Mengapa saya menuliskannya segera setelah kepergian beliau? Karena saya tidak punya PERSEMBAHAN apapun untuk mengiringi kepergiannya selain dengan tulisan ini. Saya tentu tidak bisa menyembahnya. Dan, saya juga tidak mungkin mengirimkan bunga ke rumah atau makamnya. Sepanjang hidupnya adalah rangkaian bunga yang indah, dan dia sendiri adalah ahlinya. Persembahan kembang dari saya hanya akan menjadi kesia-siaan. Bahkan menjadi sampah dalam tiga hari saja. Dan sangat merepotkan untuk membuangnya. Mengapa saya bersusah payah menulis tentang Satiri? Tidak terlalu sulit bagi saya untuk menuliskannya, karena dia adalah pahlawan saya. Di era pandemi ini, kita membutuhkan pahlawan untuk saling menguatkan. Sekarang, biarkan saya bertanya padamu: Siapa pahlawanmu? . Catatan: Terima kasih atas masukan ibu-bapak dan teman-teman semua yang mengusulkan agar saya menulis biografi lengkap Satiri. Usulan yang sangat mulia. Saya akan memikirkannya dengan sungguh-sungguh. Tahun ini kebetulan ada amanah kerja yang cukup besar yang harus saya garap dengan sabar. So, sabar yaa… Al Fatihah buat Bang Tiri, dan salam sehat buat kita semua. ---------- Disc: Ini hanya cerita, walaupun berdasarkan kejadian nyata. Ackn.: Terima kasih buat yang sudah menambahkan info seputar Satiri melalui komen dan japri. From people for people. Foto: “Galeria (Kika): Wisuda S1, S2, dan S3; Satiri sebagai dosen, sebagai ustadz, dan sebagai sahabat saya” Sumber: Koleksi Marie, FB Satiri, dan Fitria.